Sabtu, 21 Februari 2009

Dominasi Modal Dalam Politik, Dan Cara Melawannya

Sejak lima sampai enam bulan belakangan ini, kita semua rakyat Indonesia, khususnya rakyat yang berada di wilayah sub-kultur (bagian budaya) Matraman Jawa Timur, disuguhi berbagai gambar dan slogan oleh ribuan Caleg (calon legislatif). Gambar dan slogan itu dipasang hampir di seluruh tempat, hampir tidak ada ruang kosong yang berada ditempat-tempat strategis dan pinggir jalan yang tidak ditempeli dan didirikan gambar-gambar. Saking banyaknya gambar yang ditempel di tepi jalan, sampai mata ini muak melihatnya. Seandainya kita bisa menyetir motor hanya dengan rasa, tanpa melibatkan mata untuk melihat, maka mata akan kita tutup sepanjang perjalanan. Namun jika itu bisa, maka mata akan kita tutup dimanapun tempat, karena gambar-gambar itu tidak hanya ada di jalanan, di depan rumah, di dalam rumah, di televisi, bahkan di tempat paling pribadi kita.

Meskipun gambar itu penuh senyuman bahkan banyak yang cantik-cantikan, namun gambar-gambar itu sangat mengganggu estetika (keindahan), baik keindahan jalan raya, jalan kampung, taman-taman kota, bahkan keindahan persawahan dan pemandangan pegunungan hijau yang menyehatkan mata. Kalau dihitung secara ekonomi, maka gambar-gambar itu sangat membuang-buang uang. Hitungan ini pasti menjangkiti siapapun, terutama pada rakyat yang saat ini tidak memiliki pekerjaan, atau yang punya pekerjaan tetapi pas-pasan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Rakyat yang untuk makan dipagi hari ini saja masih harus mencari hutangan ke para rentenir.

Karena itu, kita bisa membayangkan, seandainya Pemilu tanpa ada gambar-gambar yang sangat banyak berserakan. Mungkin biaya untuk gambar yang di tempel di jalan-jalan itu bisa digunakan untuk membantu calon pemilih yang hari itu harus ngutang untuk memberi saku anaknya pergi ke sekolah, atau yang lebih bermanfaat lagi adalah bisa disumbangkan untuk calon pemilih yang kesulitan modal karena sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal (pegawai, buruh dll). Selain itu, jalanan serta tempat-tempat umum akan tetap bersih dan terjaga keindahannya. Tetapi, mungkin, kita yang berfikir seperti ini dianggap terlalu berfikir klise (mengawang-awang), ideal dan tidak paham tentang kondisi politik riil yang pertarungannya penuh dengan taktik dan strategi bahkan kelicikan dan keculasan.

Dari kebanyakan Caleg yang menempel gambar, adalah caleg-caleg yang tidak banyak bergelut membangun kekuatan rakyat untuk berjuang bersama-sama dalam upaya memerangi kemiskinan atau penindasan, sehingga tidak banyak dikenal oleh rakyat. Sehingga dalam jangka waktu 6 bulan ini mereka berlomba-lomba memperkenalkan diri kepada rakyat, agar rakyat memilihnya. Karena itu, dalam menyabut Pemilu ini, mereka sibuk sendirian. Puluhan, bahkan ratusan juta dikeluarkan. Berbagai bentuk gambar ditebar dimana-mana, janji diucapkan dimanapun dia ketemu orang. Semua ini untuk manarik simpati rakyat banyak. Karena tanpa modal dan tanpa memasang gambar dengan sisipan janji-janji manis, maka dia sama sekali tidak dikenal orang. Bahkan untuk di Jombang, beberapa Caleg berani kontrak orang setiap desa dua orang. Setiap orang diberi bayaran 500 ribu rupiah selama 3-4 bulan. Bisa dibayangkan berapa uang yang dikelarkan oleh si Caleg jika dia ada di Dapil Jombang kota dan peterongan yang jumlah desanya mencapai 34 desa. 34 juta hanya untuk bayar dua orang di desa. Belum gambar dan tetek bengek lainnya. Belum lagi dia juga harus membayar orang untuk tiap TPS, demi mengamankan suara di TPS. Hitungan ini untuk satu Caleg. Padahal jumlah Caleg untuk Jombang lebih dari 1200 orang (?).

Itulah kondisi politik riil (nyata) saat ini. Modal (uang, harta benda) menjadi sesuatu yang bisa mengendalikan kondisi politik. Bukan lagi orang. Modal yang tidak memiliki otak bisa mengendalikan orang yang memiliki otak. Inilah yang dinamakan tirani modal: kekuasaan mutlak ada di hitungan modal (siapa yang megendalikan modal dialah yang bisa berkuasa). Tirani modal inilah yang sekarang betul-betul menguasai kondisi politik (politik dominan). Yang mendominasi kondisi politik adalah para elite yang menguasai (atau dikuasai) modal. Ini tidak manusiawi dan tidak adil, karena bagaimana bisa orang disamakan bahkan dikalahkan oleh benda (modal). Orang miskin yang tidak menguasai modal tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk turut berkuasa secara politik. Padahal orang miskin juga manusia yang memiliki hak yang sama untuk berkuasa secara politik.

Karena itu, jika kita benar-benar ingin menciptakan kondisi politik yang benar-benar adil (ingat! ini cita-cita siapapun, terutama cita-cita dalam bernegara) dan licik serta culas, maka kita harus memulai dari diri kita sendiri untuk berusaha menciptakan kondisi politik kebalikan dari praktek-prekatek politik yang telah disebutkan diatas, kemudian mendorong orang lain untuk secara bersama-sama berbuat menciptakan kondisi politik yang lebih baik. Perbuatan ini, saya selalu memberi makna sebagai upaya perlawanan kita terhadap kondisi politik yang tidak adil, yaitu kondisi politik yang didominasi oleh kekuatan modal, atau secara ringkas bisa saya katakan sebagai perlawanan terhadap politik dominan yang dikuasi modal.

Cara melakukan perlawanan terhadap kondisi seperti bisa kita lakukan dengan berbagai cara. Karena cara untuk melawan sangat beragam, tergantung tempat, waktu dan kondisi, meskipun kondisi yang kita lawan hanya satu. Untuk melawan kondisi inipun tidak selalu dilakukan secara berhadap-hadapan dengan orang atau kelompok yang menjalankan praktek politik yang tidak adil itu. Kita bisa memulai dari kita sendiri dan orang-orang disekitar kita atau di kelompok kita, kemudian kita sebarkan kepada kelompok-kelompok rakyat yang lain. Kita bisa memulai dengan membicarakan dengan orang-orang yang sudah satu ide dengan kita, karena kita sebelumnya selalu menjalankan kegiatan secara bersama di kelompok-kelompok (bagi yang beum berkelompok bisa berhubungan dengan yang sudah berkelompok) untuk menentukan siapa yang akan kita beri mandat menjadi Caleg. Siapa yang pantas? Hal ini ditentukan secara bersama, dengan kriteria orang yang terbaik diantara kita (kader terbaik kita). Orang yang terbaik diantara kita adalah orang yang paling aktif dan memiliki gagasan-gagasan bagus untuk menyelesaikan beragam masalah yang dialami secara bersama. Orang yang selalu menodorong atau memberi motivasi kepada kita untuk selalu bekerja dan berjuang secara bersama dan selalu menjaga kekompakan diantara kita. Tentu orang ini bukanlah orang yang baru kita kenal menjelang Pemilu, tetapi orang yang secara terus menerus bersama-sama dengan kita, dan menjadi anggota di kelompok-kelompok kita.

Orang inilah yang akan kita majukan sebagai Caleg kita. Wakil yang kita beri mandat untuk turut bertarung dalam gelanggang politik riil (prkatis). Tentu dengan tujuan dan harapan realistis yang sudah kita sepakati secara bersama-sama. Karena dia diberi mandat oleh kita, maka Caleg ini tidak akan sesibuk Caleg-caleg yang saya sebutkan diatas. Kerja pemenangan dan kampanye akan kita lakukan secara bersama-sama, dan tentu akan kita biayai secara bersama-sama. Modal bukan segala-galanya, karena modal bisa kita jinakkan, dan hanya sekedar sebagai salah satu penopang dalam melakukan kampanye dan pemenangan. Disamping itu, karena konstituennya sudah sangat jelas yaitu anggota kelompok-kelompok, maka kampanye-pun tidak akan banyak butuh gambar, karena Caleg sudah sangat dikenal oleh calon pemilih yang sudah terdeteksi sebelum Pemilu berlangsung. Kalaupun butuh gambar mungkin yang lebih penting adalah gambar untuk simulasi pemilihan (pencoblosan/pencontrengan), karena teknik ini merupakan persoalan tersendiri bagi pemilih.

Pertanyaannya kemudian, apakah ini bisa kita lakukan. Jawabannya tegas, bisa! Hal ini sangat mungkin kita lakukan, terutama oleh anggota forum-forum aliansi di Jombang, Kediri, Mojokerto dan Madiun serta Nganjuk. Karena kita sudah menjalankan berbagai kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan kita secara terus menerus. Kita sudah beberapa kali melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa dan semuanya berakhir sukses. Kita sudah memiliki modal untuk melakukan itu.

Dan, inilah salah satu cara kita dalam melakukan perlawanan terhadap kondisi politik saat ini yang banyak dikuasai oleh modal: yang merusak pemandangan, menghabiskan banyak uang, tidak memberikan pendidikan politik yang baik dan yang lebih fatal tidak menjadikan manusia layaknya sebagai manusia, karena manusia disamakan dengan barang (modal).

0 komentar: