KADERISASI PEMIMPIN POLITIK DI INDONESIA


Tulisan ini merupakan versi yang lebih lengkap dari Bab I buku Mencetak Pemimpin Politik Dari Bawah yang saya tulis bersama dua orang teman. Tulisan ini perlu diposting dalam blog karena dalam versi bukunya, tulisan ini diringkas menjadi cukup pendek. Hal ini dilakukan untuk menghemat halaman dan yang lebih penting, agar bahasan buku lebih fokus pada bahasan: upaya membangun kepemimpinan politik dari bawah.

Negara Republik Indonesia telah didirikan dan di proklamirkan sejak 60 tahun yang lalu. Usia yang sudah cukup dewasa jika diasosiasikan dengan umur manusia Indonesia rata-rata. Berbagai peristiwa sejarah telah terjadi selama kurun waktu tersebut, baik peristiwa politik, ekonomi, sosial serta budaya. Mulai dari persitiwa yang membawa kemajuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai peristiwa-peristiwa yang membawa kemunduran bahkan peristiwa tragis yang mengorbankan kemanusiaan dan hampir-hampir atau sudah berada dalam bibir jurang kejatuhan dan gagal menjadi organisasi yang memberikan perlindungan kepada warganya. Tulisan pembuka ini merupakan deskripsi awal bagi pembahasan tentang kepemimpinan politik di Indonesia. Sebelum membicarakan secara panjang lebar bagaimana seharusnya pemimpin politik direkrut, dikader dan dipilih, maka perlu dilihat, sebagai latar belakang, bagaimana para pimpinan politik sejak jaman kemerdekaan dikader dan mengalami pendidikan, terutama ditingkat nasional? Kemudian bagaimana proses maju sebagai pimpinan politik dan bagaimana kebijakan-kebijakan yang diproduksi setelah memegang pimpinan politik?

Secara periodik, Indonesia sejak merdeka tahun 1945 dapat dibedakan ke dalam beberapa periode: periode kemerdekaan, periode dibawah kekuataan otoriter, periode paska otoriter atau masa reformasi. Pendekatan periode ini akan digunakan untuk melihat tentang kepemimpinan politik di Indonesia dan peristiwa-peristiwa dan juga kebijakan-kebijakan yang dibuat selama kurun kepemimpinan tersebut. Di tulisan ini juga, secara singkat dilihat bagaimana proses pengkaderan dan pendidikan yang dialami oleh pemimpin politik di Indonesia.

Pendekatan periode ini dimulai sejak periode kemerdekaan. Dalam periode kemerdekaan terjadi beberapa peristiwa penting. Peristiwa tersebut antara lain: peristiwa proklamasi kemerdekaan; terjadinya perang dan upaya diplomatik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan; mengalami sistem demokrasi parlementer; beralih mengikuti demokrasi terpimpin; terjadinya konfrontasi dengan Malaysia; Pengambilalihan Papua Barat; terjadinya peristiwa 30 September, yang menjadi awal terjadinya peristiwa kemanusiaan yang paling tragis dalam sejarah Indonesia, dimana sekitar 1 juta orang terbunuh[1]. Peristiwa yang banyak melibatkan Amerika Serikat ini[2] juga digunakan oleh Suharto untuk melakukan kudeta atas kepemimpinan presiden Sukarno.[3]

Periode Paska Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia dilatarbelakangi bergolaknya Perang Dunia II. Di pertengahan tahun 1940-an, dua kota penting Jepang di jatuhi bom atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1045 yang mengakibatkan Jepang takluk dan menyatakan kalah perang. Setelah mendengar siaran berita kekalahan Jepang atas tentara Sekutu, kelompok pemuda progresif yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan mengadakan rapat. Dalam rapat tersebut diputuskan agar proklamasi segera dilakukan dan menentukan siapa yang pantas menjadi proklamator, selanjutnya otomatis menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Wikana, salah satu pemuda, mengusulkan nama Amir Sjarifuddin sebagai orang yang paling pantas menjadi proklamator. Alasannya, karena konsistensi Amir melawan fasisme Jepang dan figur dirinya yang dapat diterima semua kelompok progresif saat itu.

Semua peserta rapat setuju dengan usulan tersebut. Tapi, setelah keputusan diambil, peserta rapat baru sadar bahwa Amir ternyata pada saat itu sedang dipenjara oleh Jepang. Kuatir rencana itu membahayakan keselamatan Amir, lalu diusulkan agar Sjahrir yang menjadi proklamator. Sjahrir menyarankan agar Sukarno dan Hatta yang menjadi proklamator. Alasannya, karena keduanya dikenal luas oleh kalangan rakyat.[4] Akhirnya Sukarno yang kemudian menyetujui negara kesatuan dan Hatta yang menginginkan negara federal,[5] secara simbolik mewakili kelompok-kelompok pergerakan yang mempersiapkan kemerdekaan dan atas nama bangsa Indonesia dipilih secara aklamatif dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk membacakan teks proklamasi dan selanjutnya otomatis menjadi presiden dan wakil presiden.[6]

Penunjukan Sukarno oleh kalangan pergerakan sebagai orang yang membacakan teks proklamasi dan selanjutnya ditunjuk sebagai presiden pertama tidak berangkat dari sesuatu yang kosong. Penunjukan ini berdasarkan rekam jejak Sukarno dalam dunia pergerakan melawan imperialisme dan kolonialisme. Di usia sekolah Sukarno bertempat di rumah tokoh Syarikat Islam (SI) H.O.S Tjokroaminoto di Surabaya, kemudian pindah ke Bandung bergabung dengan Studi Club Bandung yang didirikan oleh Ishaq Tjokrohadisoerjo yang baru kembali dari belajar di Belanda. Di situ dia sudah menulis tentang Nasionalisme, Islam, dan Marxisme,[7] dimana gagasan penggabungan tiga paham tersebut masih belum dipikirkan orang.

Pada tahun 1927, bersama anggota Studi Club Bandung mendirikan Partai Nasional Indonesia yang bertujuan mencapai kemerdekaan penuh bagi Indonesia atas dasar aksi massa dan tidak bekerja sama dengan Belanda.[8] Kemudian untuk menggalang kekuatan yang lebih besar, dia lewat partai yang didirikan mendirikan federasi Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) yang terdiri dari semua partai dan persatuan politik seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Studi Klub Dr. Sutomo, kaum Sumatra, kaum Sunda, dan kaum Betawi, dan juga partainya sendiri, PNI, meskipun tidak bisa berjalan lama.[9]

Watak kepemimpinan Sukarno ditempa melalui jalan pengkaderan yang cukup kuat melalui guru politik yang handal di jamannya dengan materi pelajaran anti penindasan, anti imperialisme dan kolonialisme. Materi dasar itu kemudian dipoles melalui pengalaman pergerakan yang cukup panjang. Pengalaman pergerakan inilah yang menjadikan Sukarno sebagai pemimpin politik yang memiliki kekuatan yang mampu menjadi inspirasi banyak orang untuk bergerak sesuai dengan semangat yang dimilikinya serta banyak dikenal luas oleh rakyat Indonesia.

Alur kaderisasi dan pembentukan kepemimpinan yang dialami oleh Sukarno dan sebagian besar tokoh pergerakan Indonesia awal berjalan cukup bagus berlandaskan pada ideologi yang cukup kuat: anti penindasan. Karena itu tidak mengherankan jika ‘alumni’ proses pengkaderan di awal-awal jaman pergerakan Indonesia cukup berhasil menjadi pimpinan politik yang memiliki garis perjuangan yang jelas dan kuat.  

Periode Dibawah Otoritarianisme

Setelah Sukarno memimpin Indonesia selama 20-an tahun, selanjutnya bangsa Indonesia berada dalam periode kekuasaan otoritarian Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto, seorang tentara berpangkat Mayor Jenderal. Sejak lulus sekolah tingkat pertama, Suharto masuk dalam dunia militer. Dia menempuh pendidikan militer dasar sampai tingkat sersan, kemudian masuk dalam tentara PETA dan pernah menjadi polisi di Yogyakarta.[10]

Karir militernya dijalani mulai menjadi komandan kompi sampai menjadi komandan Kostrad (1963-1965) dan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat (1966) yang kemudian menjadi pucuk pimpinan Angkatan Darat. Suharto besar dalam lingkungan militer dan tidak pernah menjalani pengkaderan politik dalam lingkungan sipil. Ketika terlibat dalam dunia politik, dia merasa terseret ke arah itu,[11] tidak karena yang diimpikan. Karena itu politik Suharto adalah politik militer. Politik yang menggunakan prinsip komando, dan juga kekerasan, dalam mengambil dan menjalankan keputusan-keputusan.

Naiknya Suharto menjadi presiden Indonesia tidak melalui jalan yang konstitusional, tetapi melalui apa yang yang dinamakan “kudeta merangkak” terhadap Sukarno.[12] Karena dilakukan dengan perencanaan yang cukup panjang melalui pemanfaatan berbagai momentumn dengan menggunakan Angkatan Darat sebagai organisasi tunggangan. Berangkat dari kudeta ini, kekuasaan tirani kemudian dibangun.

Indonesia dibawah pemerintahan Suharto adalah Indonesia dalam masa yang sangat gelap. Rejime Orde Baru dibawah Suharto ditopang oleh tiga kekuatan utama: militer (maka kemudian otoritarianime Suharto disebut sebagai otoritarian yang militeristik), birokrasi dan Golongan Karya (partai untuk mensahkan kekuasaan). Pada masa Suharto ini, berjuta-juta rakyat dipenjarakan tanpa melewati pengadilan, ratusan ribu orang dibunuh dan dihilangkan. [13]  Kebebasan berekspresi, berkumpul dan, berserikat diberangus. Media massa yang yang menjadi penopang utama kebebasan berekspresi dikendalikan, dan harus memiliki ijin khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan sewaktu-waktu bisa dibredel jika tidak sesuai dengan kehendak dan pendapat pemerintah.[14]

Suharto yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal bintang lima adalah pimpinan militer tertinggi, baik dia sebagai presiden sesuai dengan UUD 1945 atau dia sebagai anggota militer. Melalui struktur militer inilah, terutama Angkatan Darat, Suharto membangun kekuatan yang menakutkan, karena menggunakan segala cara untuk memberangus lawan-lawan politiknya.[15] Organisasi militer yang berada dibawah kekuasaannya, tidak hanya melakukan tugas-tugas kemiliteran, tetapi juga melanjutakan usaha-usaha bisnis yang semakin ekspansif.[16]

Setelah enam kali terpilih menjadi presiden melalui Pemilihan Umum yang diatur, akhirnya Suharto harus menghakhiri pemerintahannya setelah diruntuhkan oleh aksi massa tahun 1998. Kekuatan pemerintahan Suharto sangat lemah. Ekonomi sebagai bidang yang sangat diunggulkan daripada bidang politik[17] mengalami hantaman yang cukup keras dari krisi ekonomi Asia. Ekonomi yang dibangun dengan landasan sistem kapitalisme yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme tidak mampu menghadang krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis ini membawa pemerintahan Seoharto menjadi sangat lemah. Dalam kondisi seperti ini, rakyat Indonesia memiliki kesempatan untuk menggulingkan kepemimpinan otoriter Suharto melalui aksi massa di mana-mana. Melihat kondisi ini, akhirnya Suharto menyerahkan kursi presiden kepada wakilnya BJ Habibie tanpa melalui prosedur resmi Rapat Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (RU MPR). Karena itu, Suharto tidak pernah melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat Indonesia melalui MPR sampai dia meninggal dunia.

Memasuki Periode Reformasi

Masa BJ Habibie

Sebelum dan setelah Suharto menyerahkan kursi presiden kepada BJ Habibie, banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah peristiwa politik yang berujung pada pelanggaran-pelanggaran HAM berat. Peristiwa penembakan mahasiswa, penculikan aktifis dan pembunuhan berkedok dukun santet adalah sebagain peristiwa yang megiringi kejatuhan Suharto.     

Setelah Suharto menyerahkan kekuasaannya secara illegal[18] di istana negara kepada BJ Habibie sebagai wakilnya, Indonesia yang berada dalam kondisi krisis dipimpin berturut-turut oleh presiden BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, dan Megawati Sukarnoputri. Era reformasi setelah tumbangnya pemerintahan otoriter Suharto dimulai di masa BJ Habibie.

BJ Habibie banyak disebut sebagai pelopor teknoligi tinggi di Indonesia. Masa kecil Habibie dilalui di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School.

Setelah tamat SMA di Bandung tahun 1954, Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang dijalani di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia. Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis.[19]

Dilihat dari riwayat belajarnya, Habibie adalah seorang pemuda yang tekun dalam mata pelajaran. Satu type pemuda yang memiliki konsentrasi dalam meraih prestasi belajar di sekolah dan tidak suka menggeluti dunia pergerakan. Karena itu, BJ Habibie merupakan Presiden yang tidak memiliki riwayat pengkaderan dalam dunia gerakan politik di Indonesianya. Masa mudanya dihabiskan di negeri yang jauh dari hingar bingar pergolakan politik di Indonesia. Ketika menjadi menteri kabinetnya Soeharto-pun, dia sama sekali tidak menonjol dalam urusan-urusan politik, dan berada dibalik perlindungan Suharto ketika menghadapi persoalan politik. Kecuali diakhir-akhir dia menjabat menteri Suharto, yaitu ketika dia mulai aktif di ICMI.
 
Di masa pemerintahnnya, atas desakan kelompok korban dan masyarakat luas terhadap pemerintah untuk menjalankan agenda penegakan Hak Asasi Manusia, akhirnya MPR membuat Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan ini memberikan tugas kepada BJ Habibie untuk menjalankan agenda penegakan Hak Asasi Manusia.[20] Setelah itu mulai disusun Rencana Aksi Nasional HAM untuk masa lima tahun.

Dalam era Habibie juga terjadi tuntutan yang besar dari rakyat agar penyelenggaraan Pemilu dilakukan secara lebih demokratis. Hal ini memaksa pemerintah Habibie untuk mengganti tiga Undang-undang tentang politik (tentang partai politik, Pemilu dan susunan/kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) dengan Undang-undang yang baru. Tiga Undang-undang paket tentang politik inilah yang selama ini digunakan oleh Suharto untuk menyederahanakan partai politik dan hanya mengakui tiga partai politik (PPP, PDI dan Golkar).[21]

Disamping mulai diubahnya berbagai undang-udang yang telah ada pada masa-masa sebelumnya, pada masa Habibie undang-undang tentang otonomi daerah juga disahkan, yaitu Undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi rakyat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keragaman. [22]

Ada juga peristiwa yang paling fenomenal pada masa Habibie, terutama bagi pejuang kemerdekaan Timor-timur, yaitu diselenggarakannya referendum bagi penentuan pendapat sendiri (self determination) oleh rakyat Timor-timur. Habibie mengajak rakyat Timor-Timur untuk menentukan sendiri, apakah masih ingin bergabung dengan Indonesia atau merdeka. Dalam referendum tersebut rakyat Timor-timur memilih untuk merdeka. Meskipun banyak pelanggaran HAM paska referendum yang sampai saat ini masih belum jelas penyelesainnya oleh pemerintahan SBY, tetapi kebijakan Habibie ini menjadi jalan terbaik bagi rakyat Timor-timur.

Paska jatuhnya Suharto dan naiknya Habibie, perkembangan dan pendirian partai politik sangat pesat. Meskipun pendirian partai politik masih dianggap belum sah, karena Undang-undang baru tentang partai politik belum disahkan, dan masih menggunakan Undang-undang baru, tetapi pemerintah tidak bisa melakukan pelarangan begitu saja karena desakan rakyat begitu hebat.[23] Atas desakan publik juga akhirnya Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pemilu yang dipercepat ini dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya.[24] Pemilihan Umum (Pemilu) pertama paska pemerintahan otoriter Suharto ini diikuti oleh lebih dari 48 partai politik. Inilah Pemilu dengan system multi parti pertama setelah Pemilu 1955 yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia.

Masa KH Abdurrahman Wahid

Pada Sidang Umum MPR RI tanggal 20 Oktober 1999 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden RI ke IV. Terpilihnya Gus Dur merupakan hasil kompromi antara kelompok Islam dengan kelompok sekuler di parlemen. Dalam sidang peripurna ada tiga calon: Yusril Ihza Mahendra (FPBB), KH. Abdurrahman Wahid (FKB, Fraksi Refomasi dan FPP) dan Megawati Sokeranoputri (FPDIP), kamudian ditengah jalan Yusril mengundurkan diri sebagai langkah untuk memberikan kesempatan kepada Gus Dur.[25]

Gus Dur menjalani pendidikannya di Pesantren, kemudian melanjutkan ke Al Azhar Kairo Mesir. Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Di Mesir warga negara Indonesia terutama pelajarnya diinvestigasi tentang posisi politiknya untuk dilaporkan ke Jakarta. Perintah ini diberikan padanya. Ia tidak setuju dengan pekerjaan itu. Kemudian Ia pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut. Setelah pendidikan di Irak sudah selesai, Gus pergi ke Leiden Belanda untuk melanjutkan sekolah, tetapi Ijazah Irak tidak diakui di Leiden, akhirnya Gus Dur mengembara ke Jerman dan perancis, kemudian kembali ke Indonesia tahun 1971.[26] Saat belajar di Irak, merupakan saat yang mempengaruhi kehidupan Gus Dur selanjutnya, terutama berkaitan dengan gagasan pluralisme dan dialog antar agama. Ketika di Irak Gus Dur juga banyak belajar tentang sosialisme, dimana ketika Gus Dur belajar di Universitas Baghdad, presiden mahasiswanya adalah Saddam Husein.[27]

Sekembalinya ke Indonesia, Gus banyak terlibat dalam gerakan sosial yang dimotori oleh LSM yang mulai tumbuh di Inodonesia. Gus Dur terlibat di LP3ES yang menerbitkan majalah Prisma. Gus Dur ketika itu juga aktif mengunjungi pesantren dan madrasah di Jawa yang mendapatkan tekanan dan kooptasi dari pemerintah. Kemudian Gus Dur meniti karir sebagai jurnalis dengan banyak menulis di majalah Tempo dan koran Kompas. Disamping itu Gus Dur juga pernah merasakan duduk sebagai legislatif di jaman otoriter, sehingga cukup memahami logika kekuasaan Orde Baru.[28]
  
Sejak Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, Gus Dur terlibat aktif di Nahdlatul Ulama’. Disini Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Organisasi keagamaan ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Pemikiran-pemikiran yang dikeluarkan selalu membangkitkan orang NU, terutama kalangan mudanya untuk berfikir progressif. NU dibawah Gus Dur menjadi organisasi terdepan sebagai representasi civil society di Indonesia, dimana ketika itu tekanan dan hegemoni pemerintahan Suharto kepada rakyat luar biasa besar.

Kepemimpinan Gus Dur di pupuk sejak dia masih muda. Proses kaderisasi yang dijalaninya berganti dari satu organisasi ke organisasi lain. Proses yang panjang inilah yang mengakibatkan Gus Dur memiliki komitmen yang kuat terhadap rakyat kecil, rakyat marginal dan kelompok-kelompok minoritas yang juga memiliki hak yang sama dengan lainnya.

Upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia secara intensif dilakukan dalam masa pemerintahan Gus Dur, termasuk upaya-upaya perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang sebelumnya menjadi perhatian serius Gus Dur. Upaya penegakan HAM yang paling utama salah satunya adalah dibentuknya pengadilan HAM untuk pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu. Juga sebagai upaya menjaga dan melindungi hak korban 1965, Gus Dur membebaskan seluruh Tapol inti peristiwa 1965 serta secara terbuka atas nama Negara meminta ma’af kepada seluruh korban dan keluarga korban peristiwa 1965.[29]   

Setelah 21 bulan menjadi presiden Republik Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR pada tanggal 23 Juli 2001. Sidang Istimewa MPR RI semula akan mengadili Gus Dur dalam kasus Brunei Gate dan Bulog Gate, kemudian karena Gus Dur mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah pembubaran parlemen dan pembekuan Golkar, akhirnya Sidang Istimewa MPR RI berubah agendanya menjadi pemakzulan Gus Dur sebagai presiden RI.[30]  

Masa Megawati Sukarnoputri

Setelah Gus Dur diberhentikan menjadi Presiden RI pada Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001, kemudian MPR RI dalam sidang yang sama mengangkat dan menetapkan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden ke-5.[31] Megawati naik menjadi Presiden karena desakan dari Poros Tengah (kalangan Islam). Upaya ini banyak disebut sebagai upaya Poros Tengah menelikung Abdurrahman Wahid. Karena itu, Megawati sendiri ketika ditawari oleh Poros Tengah pertama-tama menolak, karena Megawati tidak ingin ditelikung juga oleh kalangan Islam Politik. Dia sendiri juga pernah ditelikung ketika dia mencalonkan diri menjadi Presiden dalam SU MPR tahun 1999. Namun setelah ada jaminan dari Amin Rais, Hidayat Nurwahid dan Yusril Ihza Mahendra, akhirnya Megawati bersedia menjadi Presiden RI ke-5.[32]

Megawati melewati masa sekolahnya dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Setelah itu, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Sejak kecil lebih menyukai menari daripada kegiatan-kegiatan yang lain.

 

Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Megawati mula-mula terbilang tidak piawai dalam dunia politik dan tidak pernah mengikuti secara resmi pengkaderan di dalam partai yang didirikan dan dipimin oleh orang tuanya. Bahkan setelah Sukarno jatuh, Megawati praktis tidak terjun ke dunia politik. Ada kesepakatan keluarga untuk tidak lagi terjun ke dunia politik, meskipun dalam masa selanjutnya Megawati melanggar kesepakatan itu.

Ia masuk ke dunia politik sejak tahun 1987 dengan menjadi salah satu calon PDI. Dalam  Pemilu yang digelar kemudian, ia berhasil menaikkan suara PDI dan terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Dia langsung memimpin PDI cabang Jakarta Pusat. Peristiwa politik selanjutnya[33] yang menjadikan dia sangat populer dikalangan rakyat, karena dianggap sebagai simbol yang melakukan perlawanan kepada Suharto.[34]

Jika dilihat dari riwayat pendidikannya, Megawati tidak pernah mengalami proses pengkaderan yang betul-betul dari bawah. Karena ketika dia masuk ke dalam dunia politik, dia langsung menjadi pimpinan partai. Faktor keturunan yang menjadi alasan kenapa dia bisa langsung menjadi pimpinan partai. Tidak karena proses pengkaderan partai dari yang paling bawah.

Pada masa Megawati menjabat sebagai presiden kebijakan-kebijakan penting yang dikeluarkan antara lain: diselenggarakknya Pemilihan Presiden Langsung pertama sejak Indonesia merdeka, pengakuan hak dipilih dalam Pemilu bagi para mantan tahanan politik peristiwa ‘65, dan ditandatanganinya CoHA antara pemerintah RI dengan seteru politiknya Gerakan Aceh Merdeka. Semakin menguatnya konsolidasi demokrasi menandai keberhasilan pemerintahan Megawati, sehingga memungkinkan untuk menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung.

Dalam masa kepemimpinannya sebagai Presiden RI, Megawati diharapkan bisa menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadis sebelumnya. Terutama pelanggaran HAM yang dialami oleh para pendukungnya dalam peristiwa 27 Juli, yang kemudian disusul kasus penculikan aktifis yang terjadi sekitar tahun 1997-1998. Tapi kenyataannya, Megawati tidak bisa berbuat banyak untuk bisa menuntaskan kasus-kasus tersebut. Dia malah banyak menggandeng orang-orang yang diduga sebagai pelaku untuk didukung menjadi pejabat publik.[35]

Setelah menjalankan jabatan presiden dalam sisa waktu yang ditinggalkan oleh presiden Abdurrahman Wahid selama lebih kurang tiga tahun, Megawati mengakhiri masa jabatannya setelah kalah dalam Pemilu Presiden secara langsung. Megawati kalah dengan mantan menterinya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kekalahan ini memiliki hubungan yang erat dengan pengabaian Megawati dan PDIP terhadap harapan pendukungnya yang sebagian besar adalah wong cilik.  

Masa Susilo Bambang Yudhoyono

Setelah menang dalam Pemilu Presiden langsung, akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik melalui Rapat Paripurna MPR RI. Pelantikan dilakukan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membacakan hasil Pemilu 2004 yang dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla. Pemilu Presiden secara langsung merupakan pengalaman baru bagi bangsa Indonesia dalam memilih presiden. Semula diharapkan pemilihan presiden secara langsung ini dianggap sebagai suatu mekanisme yang lebih demokratis dan merupakan solusi untuk mencegah berbagai distorsi yang banyak terjadi pada pemilihan presiden sebelumnya.[36] 

SBY dibesarkan di dunia militer. Setelah lulus sekolah menengah atas SBY masuk ke AKABRI, meskipun sebelumnya sempat masuk ke ITS Surabaya dan Pendidikan guru SLTP di Malang. Setelah menyelesaikan pendidikannya di AKABRI tahun 1973, SBY melanjutkan pendidikan kemiliterannya di berbagai kursus kemiliteran di Amerika Serikat dan di dalam negeri.

Dia antara lain berturut-turut pernah mengecap pendidikan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991).

Karir militernya dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, yang membawahi langsung sekitar 30 prajurit. Pernah juga menjadi Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977, dan pernah memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur. Karir militernya terakahir menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).[37]

Pada tahun 2000, SBY mulai masuk ke dunia politik dengan menjadi anggota kabinet Abdurrahman Wahid, kemudian menjadi anggota kabinet Megawati Sukarnoputri. Jika dilihat dari riwayat pendidikannya, SBY tidak pernah mengalami pengkaderan kepemimpinan sipil sama sekali, seperti presiden Suharto. Watak politiknya adalah watak politik militer. Jika saat ini SBY tidak terlalu menonjolkan watak politik militer, ini lebih karena kondisi politik yang berubah di Indonesia, dimana dominasi militer tidak lagi menguasai dunia politik. Sipil lebih mendominasi pengaruh yang cukup kuat, yang ditandai dengan penarikan militer dari politik atas perintah regulasi.

Selama pemerintahan yang disingkat SBY-JK, kebijakan-kebijakan penting yang dilakukan antara lain: terlaksananya perundingan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki yang membawa konsekuensi pemberian otonomi yang lebih luas untuk propinsi Nanggro Aceh Darussalam yang membawa perdamaian di Aceh, Pembatasan dan penghapusan bisnis militer melalui Undang-undang No.34 tahun 2004, pembentukan Komisi Yudisial serta beberapa kebijakan tentang perlindungan HAM.

Pemerintahan SBY-JK berakhir setelah diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung yang kedua pada tahun 2009. Pemilihan presiden tahun 2009 merupakan rangkain dari Pemilu tahun 2009. Sebelum Pemilu Presiden dilakukan, juga dilakukan Pemilu untuk memilih anggota DPR-RI, DPRD dan DPD. Pemilu 2009 bisa dilaksanakan secara bebas dan adil,[38] meskipun Pemilu 2009 banyak dikritik sebagai momen bagi menguatnya kecenderungan demokrasi prosedural dan memunculkan politik oligarki (kekuasaan politik hanya pada elite yang berjumlah kecil) yang dijalankan oleh partai-partai politik mapan. [39] Politik oligarki ini ditandai dengan masih bercokolnya kelompok-kelompok elite politik lama. Pemilu tidak menghasilkan susunan pemegang kekuasaan yang betul-betul menyuarakan kepentingan rakyat kecil yang memiliki suara terbanyak.

Dalam Pemilu 2009 ini, SBY kembali terpilih sebagai pemenang Pemilu presiden, tetapi tidak lagi bergandengan dengan Jusuf Kalla sebagai wakilnya. SBY berpasangan dengan Boediono, yang disebut sebagai orang yang menganut paham neo-liberalisme.[40] Hal ini menjadi warning bagi rakyat Indoensia bahwa, pemerintahan SBY selanjutnya akan semakin memihak kepada kebijakan-kebijakan neo-loberalisme yang ditandai dengan: pertama, pengutamaan stabilisasi ekonomi makro dibanding faktor ekonomi yang lain; kedua, liberalisasi perdagangan dan investasi dan; ketiga, privatisasi dan penjualan aset-aset strategis.[41]

Kecenderungan demokrasi yang ditunggangi oleh politik oligarki seperti yang disebutkan diatas, akan menyulitkan bagi kelompok-kelompok progresif yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil dan miskin tetapi tidak memiliki biaya besar untuk terlilbat dan bisa memenangkan Pemilu. Karena biaya yang dikeluarkan untuk terlibat dalam Pemilu dengan menjadi calon anggota DPR, DPRD dan DPD sangat besar, maka sangat sulit bagi kelompok rakyat progressif yang rata-rata berangkat tidak dari kekuatan modal dan ketenaran yang dimiliki, tetapi berangkat dari pengalaman melakukan pembelaan kepada rakyat secara langsung dan nyata. Politik oligarki yang menggunakan kekuatan modal besar, tidak akan memberikan kesempatan kepada kelompok progresif ini, karena bagi mereka memberi kesempatan berarti membunuh diri mereka sendiri. 

Dibutuhkan upaya yang lebih panjang dan kerja penuh kesabaran tetapi terukur untuk mewarnai proses demokrasi yang lebih substantif dan berada penuh dibawah kontrol rakyat secara langsung. Tanpa kesabaran yang selalu menjadi senjata, maka apa yang akan dilakukan mudah tercebur ke dalam lubang gelap keputusasaan.


PARTAI POLITIK DAN PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN POLITIK

Fakta Kepemimpinan Politik (Rekrutmen dan Kaderisasi)

Di Indonesia struktur pemerintahan dibuat mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Dalam paparan sebelumnya, kita melihat bagaimana proses kaderisasi para pemimpin nasional sejak periode kemerdekaan sampai periode reformasi[42] dan bagaimana kemudian kebijakan-kebijakan dikeluarkan setelah menjadi pemimpin politik ditingkat nasional.

Di tulisan selanjutnya, kita coba melihat bagaimana rekrutmen serta proses kaderisasi terhadap kepemimpinan politik sejak periode kemerdekaan sampai periode reformasi yang telah dipimpin oleh empat orang presiden.

Periode Paska Kemerdekaan

Pada masa kepemimpinan politik nasional Indonesia di pegang oleh Sukarno, proses kaderisasi kepemimpinan politik banyak dilakukan melalui partai politik. Karena partai politik merupakan organisasi yang paling intensif melakukan kegiatan-kegiatan pengkaderan untuk memperkuat partai sehingga bisa bertarung dalam merebut suara rakyat.

Kehidupan kepartaian memiliki peluang yang sangat luas untuk hidup dan berkembang. Indonesia pada periode ini menganut sistem multi partai. Lebih dari 30 partai yang terbentuk dan selanjutnya mengikuti Pemilu tahun 1955. Berkembangnya kepartaian secara maksimal pada periode ini dikarenakan partai politik memiliki tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam melakukan rerkrutmen anggota atau pendukung, pengurus atau pimpinan partai. Tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali dalam proses rekrutmen dan kaderisasi tersebut, sehingga partai bisa secara bebas menentukan siapa calon pimpinannya atau pengurusnya. Persaingan yang terjadi antara tokoh-tokoh dalam partai berlangsung secara sehat dan demokratis.[43] Dengan kondisi seperti ini, maka tidak heran jika pada saat itu muncul kepemimpinan politik yang cukup baik dan memiliki kesadaran demokratik yang cukup mendalam, sehingga saat itu dikatakan sebagai masa emas politik Indonesia paska kemerdekaan . Kepemimpinan politik yang berangkat dari pola rekrutmen dan kaderasi yang baik seperti ini menyebar hampir di seluruh partai.

Partai politik saat itu (sekitar tahun 1950-an) menjadi tempat bagi pemuda-pemuda yang mulai mendapatkan pendidikan modern untuk mengembangkan gagasan dari warisan-warisan pemikiran yang mereka peroleh dari keluarga dan kelompok mereka, serta sebagai tempat untuk mengekspresikan apa yang mereka peroleh dari pendidikan yang mereka jalani. Partai politik betul-betul menjadi ladang yang subur untuk mengembangkan kepribadian.

Di sisi lain, partai politik secara sehat menjaga agar anggota-anggota dan kader-kader partai (terutama yang muda) tidak lari ke partai lain. Karena itu partai harus bisa mencari jawaban bagi masalah-masalah yang dirasakan oleh anggota atau kader, terutama dalam masalah-masalah ideologi, memberikan gambaran yang masuk akal tentang dunia yang ada di sekeliling mereka, serta memberikan solusi yang tepat untuk masalah-masalah tersebut. Tugas pimpinan politik dalam partai adalah merumuskan visi (ideologi) yang layak, menguaraikan tentang posisi dan peran partai dalam mencapai visi tersebut yang mengarah pada upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan anggota serta rakyat secara umum.[44]

Inilah kondisi partai politik pada saat Indonesia baru lahir. Proses rekrutmen dan kaderisasi dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan komitmen demokrasi yang telah dipelajari. Kepentingan hanya untuk mendapatkan uang dan kekuasaan belum secara anarkis masuk menjadi gagasan utama dalam membangun demokrasi. Karena itu praktek demokrasi yang terjadi adalah demokrasi sejati.   

Periode Otoriterianiosme: Ketrampilan Untuk Memimpin Dihabiskan

Pada masa Suharto atau era Orde Baru, kekuasaan tersentral pada satu orang dengan pola hubungan patron client. Cara-cara pemerintahan Suharto dalam membatasi dan mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan rakyat secara komunal atau berkelompok. Kebijakan pembatan ini merupakan cara yang paling fatal dan yang paling menghancurkan terhadap peradaban yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang mulai dibangun sejak Indonesia di proklamasikan tahun 1945. Menjalankan kegiatan dengan berserikat dan berkumpul merupakan kegiatan yang dianggap makar. Namun bukan berarti tidak boleh berserikat dan berkumpul. Tetapi harus berada di bawah organisasi yang telah ditentukan pemerintah. Buruh harus berserikat melalui organisasi yang dianggap sah oleh pemerintah yaitu SPSI, diluar itu dicap melawan pemerintah. Organisasi kemasyarakatan keagamaan harus berada di bawah MUI (Majelis Ulama’ Indonesia). Organisasi wartawan harus berada di bawah PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kelompok-kelompok tani dikumpulkan dalam satu organisasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia).[45] Bahkan kalangan mahasiswa sebagai calon intelektual juga harus berorganisasi lewat organisasi yang menjadi anggota KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).[46]

Penaklukan terjadi juga di organisasi partai politik. Setelah dipilih MPR sebagai presiden setelah Pemilu 1971, Suharto yang pemerintahannya didukung angkatan 66[47] segera membuat kebijakan penyederhanaan partai politik bersama-sama dengan DPR dengan mengesahkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.[48] Dengan disahkannya Undang-undang ini, maka partai-partai yang berhaluan Islam dipaksa fusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai yang berhaluan nasionalis fusi ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya, partai politik hanyalah sebagai penghias Pemilu, karena yang menang Pemilu pasti Golkar.

Selama pemerintahan Orde Baru yang ditopang oleh tiga pilar utama: Golkar, Birokrasi dan ABRI, praktis penentuan kepemimpinan politik ditentukan melalui secreaning ketat dari atas. Pimpinan-pimpinan politik dipegang oleh orang-orang yang menjadi penggerak di tiga pilar tersebut. Kalangan ABRI merupakan yang paling besar dalam mengambil porsi kepemimpinan. Melalui kebijakan Dwi Fungsi ABRI, perwira ABRI bisa dikaryakan untuk menduduki pimpinan politik di satu kabupaten atau kota. Meskipun pimpinan politik di kabupaten atau kota dipilih oleh anggota DPRD Tingkat II, tetapi karena DPRD dikuasai oleh Golkar serta fraksi ABRI yang mendapat kursi cuma-cuma, maka hampir seluruh pimpinan politik di daerah-daerah berasal dari Golkar, ABRI atau dari unsur birokrasi yang kesemuanya dikendalikan dari atas.  

Sejarah garis besar Orde Baru berusaha untuk melakukan depolitisasi massa secara sistemik. Depolitisasi tersebut dilakukan misalnya melalui monoloyalitas bagi semua pegawai negeri dan pegawai perusahaan negara kepada Golkar, agar tidak terkotak-kotak ke berbagai aliran ideologi. Disamping itu juga dilakukan floating mass (massa yang mengambang), dimana setiap warga negara tidak memiliki ikatan tertentu dengan partai politik. Rakyat hanya diperkenankan bicara tentang politik dan berhubungan dengan partai politik ketika Pemilu digelar.[49]

Kebebasan berserikat dan berkumpul yang dimiliki oleh rakyat dalam era sebelumnya, diberangus habis dan dipusatkan ke dalam satu titik. Teror, intimidasi, ancaman pembunuhan bahkan pembunuhan kerap dialami oleh siapapun yang tidak patuh dan sulit dikontrol oleh pemerintah.[50] Proses ini terjadi selama lebih 30 tahun. Satu rentang waktu yang cukup untuk menghabiskan sebuah kebudayaan. Pada rentang waktu tersebut tidak ada cara berorganisasi dan berkumpul yang baik kecuali cara-cara yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sehingga cara-cara serta keterampilan rakyat Indonesia dalam mengelola organisasi dan melakukan kegiatan-kegiatan politik yang telah ditempa sejak akhir masa kolonialisme sampai akhir era Sukarno hilang begitu saja. Rakyat Indonesia kehilangan satu kekayaan kebudayaan yang mungkin akan bisa ditumbuhkan lagi lebih dari satu generasi mendatang.

Periode Paska Otoritarianisme: Era Reformasi
Era reformasi ditandai dengan tergulingnya Suharto dari kursi kepresidenan oleh gerakan massa. Setelah masuk dalam era reformasi, bangsa Indonesia mengalami perubahan-perubahan politik. Perubahan pertama yang cukup signifikan bagi perubahan politik selanjutnya adalah di hapusnya lima paket Undang-undang Tentang Politik.[51]

Selama masa reformasi ini, bangsa Indonesia mengalami kondisi politik yang baru, setelah sekian puluh tahun terkekang dalam tirani Suharto. Bangsa Indonesia sekali lagi mulai belajar lagi dalam mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam berorganisasi. Keterampilan bangsa Indonesia dalam mengelola organisasi dan melakukan kegiatan-kegiatan politik tersebut salah satunya adalah keterampilan dalam melakukan pengkaderan dan membangun kepemimpinan politik yang baik. Tidak jalannya pengkaderan yang dilakukan oleh banyak organisasi, terutama organisasi partai politik sebagai penopang utama sistem demokrasi, lebih karena organisasi partai politik tidak memiliki cara serta keterampilan dalam melakukan pengkaderan seperti yang dulu pernah dimiliki secara canggih oleh partai-partai pada periode paska kemerdekaan.

Buntu dan tidak jalannya proses pengkaderan di organsiasi-organisasi partai politik mengakibatkan partai politik tidak memiliki kader yang mumpuni untuk dicalonkan sebagai pimpinan politik. Kalaupun ada kader yang dianggap mumpuni, bukan berarti partai telah melakukan proses pengkaderan yang baik, tetapi lebih karena faktor individu kader yang telah memiliki ketrampilan sebelum secara resmi bergabung dengan partai. Dari sini, tidak heran jika banyak sekali partai politik yang mengusung calon pimpinan politik dari orang yang selama ini sama sekali tidak bergelut dan berproses dari bawah di partai tersebut. Ini terjadi tidak hanya di partai-partai kecil, bahkan partai-partai besar yang saat ini menduduki perolehan suara besar juga melakukan hal yang sama. (ref)

Bahkan ada fenomena baru yang sangat tidak sehat bagi perkembangan demokrasi di Indonesia yaitu partai politik lebih memilih orang-orang yang terkenal dalam dunia hiburan sebagai calon pimpinan politik. Karena dengan memilih orang yang sudah terkenal dalam dunia hiburan sebagai calon pimpinan politik, maka partai tidak susah payah untuk melakukan kampanye. Artis menjadi pilihan yang menggiurkan dalam hal ini, sehingga banyak sekali partai politik yang merekrut artis terkenal sebagai calon pimpinan politik yang diusung dalam Pilkada.[52] Meskipun tidak ada larangan bagi siapapun untuk terlibat dalam perebutan pimpinan politik, tetapi fenomena ini akan menghambat proses pembentukan pimpinan politik yang betul-betul melalui proses pendidikan yang cukup baik dari bawah, terutama dalam mengelola dan menjalankan organisasi pemerintahan. Sehingga tercipta pemerintahan yang berwibawa dan bisa memberikan pelayanan dan perlindungan bagi rakyat. Saking gerahnya dengan kondisi ini, Menteri Dalam Negeri kabinet SBY II, Gamawan Fuazi merencanakan revisi Undang-undang no.32/2004 memasukkan pasal tentang calon dalam pejabat publik yang dipilih melalui Pemilu disayarakat memiliki pengalaman dan memiliki moral yang baik dan tidak pernah berzina.[53] Tentu persayaratan ini banyak ditentang karena membatasi orang untuk ikut dalam kegiatan politik.

Fenomena ini juga menjadi gambaran yang cukup jelas bahwa, partai-partai politik paska era otoritarian Orde Baru tidak memiliki mekanisme dan cara-cara bagaimana melakukan pendidikan bagi kader-kader partainya. Butuh satu mekanisme yang mengharuskan kepada partai politik untuk melakukan rekrutmen anggota dan pimpinan partai melalui pendidikan kader secara sistematis. Rocky Gerung,[54] Pengajar Filsafat UI Jakarta menawarkan jalan keluar yang cukup baik untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah dan leagislatif dalam melakukan revisi Undang-undang no.32/2004 memasukkan pasal yang mewajibkan partai politik untuk menyusun kurikulum pendidikan politik sebagai instrumen dalam melakukan rekrutmen politik dan pendidikan kader.



[1] Hilmar Farid, kata pengantar buku dalam Wilson, Mulyani Hasan, Ed, Belajar Merebut Kekuasaan, Perkumpulan Praxis, 2010
[2] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ISSI dan Hasta Mitra, Jakarta, 2008 h. 252
[3] Ibid_ h. 5
[4] Wilson, Amir Sjarifudin, Politikus Negawaran (1), dalam artikelnya di http://indoprogress.blogspot.com yang mengutip memor buku Sumarsono
[5] http://countrystudies.us/indonesia/16.htm
[6] Afan Gaffar, Politik Indonesia, Tramsisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h.53
[7] Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, Jakarta, 1987
[8] Tentang hal ini bisa dilihat dalam sejarah tentang Indonesia awal yang cukup lengkap di George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952, Itacha, NY, Cornell University dalam versi Indonesia yang diterbitkan UNS Press, Surakarta, 1997
[9] Op cit, Bernhard Dahm
[10] O.G. Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Gunung Agung, 1987, h. 144
[11] Ibid, O.G Roeder, h. 186
[12] John Roosa, Loc.Cit_h. 280 Kudeta ini juga secara langsung ditopang oleh Amerika Serikat yang tidak suka dengan politik Sukarno yang bebas aktif dan, karena itu dianggap berhaluan kiri
[13] Jhon Roosa, Loc. Cit
[14] Pada sekali waktu pemerintah dengan tangan besinya melalui Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP) membredel tiga media sekaligus: Tabloid Detik, Majalah Tempo dan Editor. Lihat di Ayu Utami et al, Ed, Bredel 1994: kumpulan tulisan tentang pembredelan tempo, detik, editor, Alinasi Jurnalis Independen, 1994
[15] Lebih lanjut tentang hal ini bisa dilihat dalam makalah Dr Asvi Warman Adam “Seharto: G30S, Kekuasannya, dan Petrus (Pembunuhan Misterius)yang disampaikan pada peserta Lokakarya “Historical Memories” Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI) -Yayasan Lontar di Yogyakarta 8 November 2000.
[16] Danang Widyoko dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, tulisan ini merupakan paper hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) Jakarta. Dalam Bab II buku ini banyak dibicarakan tentang sejarah bisnis militer sejak tahun 1945 sampai masa Orde Baru. Bisnis militer pada masa Orde Baru mengalami masa keemasan. Bisnis yang dijalankan mulai dari usaha di bidang ritel Sembako sampai bisnia impor mobil mewah dibawah merek Mercedes Benz.
[17] Rejime Suharto membuat slogan Ekonomi Sebagai Panglima. Slogan ini sebagai bentuk penghapusan dan bentuk stigma buruk terhadap kondisi sebelumnya yang memiliki slogan Politik Sebagai Panglima
[18] Dikatakan illegal karena penyerahan kekuasaan secara resmi harus dilakukan didepan Sidang Umum MPR-RI, seperti ketika Suharto diangkat dalam Sidang Umum MPR-RI tahun 1997 sebagai Presiden RI
[19] Solichin Salam, B.J. Habibie, Mutiara Dari Timur, Internusa, Jakarta, 1987, h.152
[20] Ifdhal Kasim, SH, dkk, Tutup Buku Dengan “Transitional Justice?”, Laporan HAM Elsam, Jakarta, 2005. h. 7
[21] Maswadi Rauf, Perkembangan UU Bidang Politik Pasca Amandemen UUD 1945, Tulisan pembanding yang disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasioanl VIII di Denpasar, Bali, 2003
[22] Seperti yang tertulis dalam konsideran undang-undang tersebut. UU ini menggantikan UU lama No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah
[23] Opcit,-2003
[24] Diperoleh dari penjelasan Komisi Pemilihan Umum dalam http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=42
[25] Risalah Sidang ke-13 Sidang Umum MPR-RI. Dalam risalah sidang ini bisa dilihat bagaimana dinamika yang terjadi dalam sidang antara kelompok Islam dan Sekuler
[26] Cerita ini diambil dari www.warungbebas.com
[27] Hasil diskusi dengan KH. Mahfud Salatiga (teman Gus Dur saat belajar di Universitas Baghdad Irak) ketika melayat Gus Dur pada tanggal 31 Desember 2009
[28] Loc.cit, warungbebas.com
[29]  Pernyataan minta ma’af Gus Dur atas nama Negara RI kepada korban dan keluarga korban peristiwa 1965 yang terdiri dari orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dilakukan secara terbuka dalam dialog interaktif “Secangkir Kopi” yang disiarkan secara langsung oleh TVRI tanggal 14 Maret 2000
[30] Berkaitan dengan kondisi yang terjadi dalam Sidang Istimewa MPR RI dalam rangka meminta pertanggungjawaban Presiden dan pemberhentian Presiden karena dianggap melanggar haluan negara (pendapat dari Golkar) dapat dibaca di Risalah Rapat Paripurna Ke-3 Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001
[31] Ibid_
[32] Artikel tentang hal ini dapat dibaca dalam http://swaramuslim.net/more.php?id=A1774_0_1_0_M
[33] Peristiwa politik selanjutnya yang menjadikan dia menjadi simbol perlawanan adalah ketika dia berhasil terpilih menjadi ketua PDI dalam kongres di Surabaya mengalahkan jago pemerintah Budi Hardjono yang menggantikan Surjadi. Pemerintah tidak setuju dengan terpilihnya Megawati ini, dan mendukung Fatimah Ahmad cs untuk menggelar Kongres Medan 1996 dan memilih kembali Surjadi sebagai ketua. Tetapi Mega tidak mengakui, dan tetap menguasai kantor PSI di Jl. Diponegoro Jakarta. Surjadi mengancam akan mengambil alih kantor. Atas dukungan penguasa Orde Baru ancaman itu dilakukan pada tanggal 27 Juli 1996 dengan melakukan perebutan kantor PDI dengan cara kekerasaan. Peristiwa ini disebut peristiwa Kudatuli yang mengakibatkan banyak korban meninggal dan hilang baik dari unsur kader PDI maupun dari kalangan aktifis
[34] Bisa dilihat di http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id
[35] Lihat berita dalam Kompas Cyber Media 09/06/2004
[36] Pernyataan ini misalnya disampaikan oleh Smita Notosusanto di www.cetro.or.id/pustaka/ppl4.html
[37] Bisa dilihat di http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id
[38] Hal ini dinyatakan secara resmi oleh US Embassy dalam laporan tentang kondisi HAM di Indonesia. Bisa dilihat di http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/HRR09_ID.pdf
[39] Heru Wardoyo dalam Wilson, Mulyani Hasan, Ed, Belajar Merebut Kekuasaan, Praxis, Jakarta, 2010, h. 107
[40] Hal ini dikatakan oleh Kwik Kian Gie yang pernah menjadi kolega Boediono dalam kabinet Megawati Sukarnoputri. Secara tegas Kwik Kian Gie menyatakan bahwa Boediono adalah penganut paham neo-liberalisme. Kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), privatisasi perbankan dan penjualan Indosat yang merugikan Indonesia trilyunan rupiah didukung oleh Boediono. Penyataan ini bisa dilihat di www.pemiluindonesia.com
[41] Drajat Wibowo dalam www.pemiluindonesia.com
[42] Bisa juga dikatakan sejak periode sukarno di masa kemerdekaan, demokrasi parlementer, dan demokrasi terpimpin, periode Suharto di masa pemerintahan otoriter, sampai periode Habibie, Abdurrahman Wahid Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam periode reformasi
[43] Semangat dalam melakukan kaderisasi dan rekrutmen dalam partai adalah upaya mengimplementasikan gagasan demokrasi secara sungguh-sungguh. Hal ini banyak dilatarbelakangi oleh pendidikan yang mereka dapatkan tentang demokrasi yang harus diwujdukan tidak sebatas komitmen. Lebih jauh tentang hal ini bisa dilihat di Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000
[44] Tulisan tentang ini dibahas secara lebih detail dalam Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta, 1988
[45] Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme, Delokomotif, Yogyakarta, 2010
[46] Tulisan tentang hal ini bisa dilihat di http://www.library.utoronto.ca/pcs/state/indon/indon2.htm. Sebuah case study tentang Indonesia yang di tulis oleh Charles Victor Barber
[47] Menurut Pramoedya A. Toer, dalam salah satu pidatonya pada Maret 1999 mengatakan: ”Dalam sejarah modern kita selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, kecuali Angkatan 66
[48] Informasi diperoleh dari Musem DPR-RI di www.dpr-ri.org
[49] Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarat, 2000, h.131
[50] Politik kekerasan Orde Baru terdokumentasikan dengan baik dalam Sukandi A.K, Ed, Politik Kekerasan ORBA, Mizan, Bandung, 1999
[51] Lima paket Undang-udang politik yang diberlakukan sejak tahun 1985 antara lain: Undang-undang tentang Pemilihan Umum; Susunan dan Kedudukan MPR/DPR; Partai Politik dan Golkar; Referendum. dan; Organisasi Kemasyarakatan.
[52] Di Jawa Timur saja, pada tahun 2010 artis yang dicalonkan sebagai pimpinan politik di daerah antara lain Emilia Contesa calon bupati Banyuwangi yang diusung koalisi Partai Gerindra, PAN dan tujuh partai kecil; Ratih Sanggarwati calon bupati Ngawi yang diusung oleh PPP dan PKB; Julia Peres yang diusung sebagai Wabup Pacitan oleh Partai Hanura, PAN, Gerindra, PBB, Patriot, PDP, PKPB, serta PKPI, serta yang terkahir adalah Maria Eva sebagai calon wakil bupati Sidoarjo
[53] Bisa dilihat dalam berita di Metronews.com, tanggal 5 Mei 2010 dan juga di Kompas, tanggal 14 April 2010
[54] Yang dimuat di Kompas, tanggal 21 Mei 2010