Mungkin kita tidak merasakan, atau masih bimbang, kenapa kita melakukan pengorganisasian. Kenapa kita membuat atau terlibat dalam sebuah organisasi, agar dengan membuat atau terlibat dalam agar organisasi ini mampu mendukung kerja-kerja pengorganisasian kita. Apakah kita membuat atau terlibat dalam sebuah organisasi karena kita kesulitan mencari pekerjaan? Atau agar apa yang kita yakini, dan sampai saat ini -mungkin- belum mampu kita rumuskan dalam kata-kata, bisa terwujud. Pertanyaan-pertanyaan ini penting bagi kita untuk kita renungkan kembali dan kita buka kembali setelah sekian lama kita berkubang dalam tugas-tugas praktis yang memang kadang-kadang mengeringkan makna dari sesuatu yang kita lakukan setiap hari secara praktis. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini terserah kita untuk menjawabnya. Tidak ada siapapun orang lain yang berhak untuk menilainya, apakah jawaban itu baik atau tidak baik. Karena itu jawabannya tidak penting untuk di ‘udal’ kepada orang lain. Hanya diri kita sendiri yang memerlukan jawaban-jawaban tersebut, sebagai tanggung jawab kita dalam menempuh kehidupan ini. Terserah diri kita sendiri apakah kita dalam menempuhnya hanya menginginkan sesuatu yang hanya sekedar kebendaan atau menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang mungkin saat ini, dijaman ini, banyak orang yang akan menertawakannya jika kita mengatakan: “perjuangan untuk sebuah keadilan”. Sebuah perjuangan yang usianya seumur manusia. Ya..saking biasanya, kita mendengar kata-kata tersebut melalui pidato-pidato, film-film di televisi, koran, buku-buku bacaan; dan mengucapkannya dalam setiap kali kita menyusun visi dan cita-cita, akhirnya apa yang kita dengar dan kita ucapkan tentang perjuangan itu menjadi sebuah hal yang biasa.
Apalagi kata-kata perjuangan untuk keadilan banyak sekali di manipulasi dan di persulit (dijauhkan dari kita). Bahwa perjuangan untuk keadilan itu bisa dilakukan di tingkat tinggi, misalnya ketika kita mampu merebut atau menduduki jabatan tinggi. Seolah-olah perjuangan itu tidak bisa kita lakukan di wilayah sempit dan rendah, dan seolah-olah perjuangan itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja yang memiliki akses terhadap media. Sebenarnya inilah yang membius dan men-tidak sadarkan kita bahwa, kita ini juga dalam rangka perjuangan untuk keadilan yang bobotnya tidak bisa dianggap lebih rendah dari perjuangan yang dilakukan orang yang sempat dimuat dalam berita atau dalam buku-buku sejarah. Karena bobot perjuangan tidak bisa di bandingkan antara yang dilakukan satu orang dengan orang lain. Masing-masing memiliki bobot yang, satu sisi menonjol, dan satu sisi tidak.
Perjuangan untuk keadilan, yang kita yakini bisa dilalui adalah dengan melakukan pengorganisasian. Kenapa melalui pengorganisasian? Karena dengan pengorganisasian berarti kita akan melakukan perjuangan menciptakan keadilan secara bersama-sama, tidak sendirian, seperti Robin Hood yang datang ke masyarakat yang ditindas lalu secara sendirian menghadapi orang yang menindas dan bebaslah penindasan. Kita melakukan pengorganisasian karena kita tidak bisa melakukan secara sendiri-sendiri. Kenapa tidak sendirian, karena kita bukanlah orang yang kuat seperti nabi Muhammad, Jesus atau Budha.
Lalu bagaimana pengorganisasian dilakukan? Kita telah bersepakat bahwa pengorganisasian akan dilakukan dengan mendorong kegiatan-kegiatan masyarakat dalam menjawab masalahnya dalam memenuhi kebutuhan dasar, kemudian, karena itu, mampu meraih akses terhadap sumberdaya, baik akses terhadap sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, sumberdaya kesehatan, sumberdaya pendidikan dan yang lainnya. Dengan ini akan muncul kesadaran kritis dan kekompakan atau solidaritas diantara orang dalam masyarakat, setelah ada solidaritas inilah perjuangan untuk keadilan yang lebih luas dilakukan. Proses ini berjalan tidak saklek, tetapi dinamis tergantung dari dinamika orang-per-orang dalam masyarakat. Urutan-urutan dalam pengorganisasian ini bukanlah sesuatu yang bisa di duga sebelumnya. Bisa saja kekompakan akan muncul lebih awal, lalu secara bersama-sama menyelesaikan atau memeprjuangkan ketidakadilan, ditengah-tengahnya mungkin akan muncul soal memenuhi kebutuhan dasar dst...dst...
Mendorong kegiatan-kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau menyelesaikan masalahnya, bukan berarti masyarakat melakukan sesuatu menurut yang ada dalam pikiran-pikiran kita, atau agar kita dinilai partisipatif dan dianggap menjalankan apa yang ada dalam pikiran-pikiran masyarakat, kita membuat kerangka perencanaan yang partisipatif. Padahal kerangka perencanaan yang kita buat tersebut tidak ada dalam pikiran masyarakat dalam membuat kegiatan. Mendorong kegiatan-kegiatan masyarakat, berarti kita mendorong kegiatan yang masih ada di pikiran (gagasan/inisiatif) setiap orang di masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah mereka, dan tentunya belum dilakukan oleh masyarakat. Belum dilakukannya kegiatan-kegiatan yang masih ada di pikiran ini bukan berarti karena masyarakat malas dalam menyelesaikan masalahnya, tetapi lebih karena masyarakat tidak beri kesempatan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang tergambar dalam pikiran-pikirannya.
Siapa yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang tersimpan dalam pikirannya? Sebuah sistem. Apakah sistem yang dimaksud? Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: PIKIRAN-PIKIRAN yang menganggap dirinya lebih (baik, enak dan, pantas) dari pikiran-pikiran yang ada di masyarakat, dan menganggap pikiran-pikiran dalam masyarakat adalah tidak baik, enak dan, pantas. PIKIRAN-PIKIRAN ini memaksa kepada pikiran-pikiran masyarakat agar berfikir bahwa, pikiran-pikiran mereka memang tidak baik, enak dan, pantas dan PIKIRAN-PIKIRAN yang bukan pikiran masyarakat tersebut lah yang lebih baik, enak dan pantas. Jika ini di percaya menjadi sesuatu yang memang harus terjadi, maka PIKIRAN-PIKIRAN tersebut akan sistem di masyarakat.
Inilah yang dinamakan dominasi yang dimulai dari pikiran yang kemudian mewujudkan diri dalam bentuk keputusan atau kebijakan. Misalnya kebijakan proyek P2KP atau proyek yang lain, tidaklah muncul pertama-tama dipikiran-nya masyarakat. Dipikirannya masyarakat sebelumnya tidak ada pikiran bahwa, untuk menyelesaikan masalah mereka harus dengan proyek P2KP atau proyek yang lain. Namun PIKIRAN yang menghasilkan kebijakan proyek P2KP menyatakan bahwa PIKIRAN merekalah yang baik dan enak, dan pikiran masyarakat tidaklah baik dan enak. PIKIRAN ini dipaksakan melalui isntrumen negara (menjadi kebijakan negara/pemerintah) dan kebijakan negara ini dipaksa oleh instrumen (kebijakan) Bank Dunia. Hal ini mengakibatkan pikiran masyarakat akan juga mengatakan bahwa, PIKIRAN atau kebijakan P2KP adalah baik dan enak. Tidak ada kekuatan bagi pikiran masyarakat untuk mengatakan bahwa PIKIRAN yang menghasilkan kebijakan proyek P2KP tidaklah baik dan enak. Karena menggunakan alat kekuasaan yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang dimiliki oleh masyarakat. Adanya dominasi inilah yang mengakibatkan ketidakadilan. Dominasi ini terjadi bisa dimulai dari tingkat yang paling kecil, yaitu rumah tangga, desa, kabupaten, negara sampai pada tingkat dunia.
Namun dari besar dan kuatnya dominasi yang muncul, terbukti masih ada pikiran-pikiran yang terdominasi menemukan cara alternatif dalam mengejahwantahkan pikiran-pikiran menjadi keputusan-keputusan kemudian menjadi kegiatan-kegiatan. Misalnya berusaha keluar dari PIKIRAN dominan, ternyata masyarakat Ngepeh dan sekitarnya mampu menjalankan kegiatan untuk menyelesaikan masalah mereka. Juga di Besowo, atau di Ngampungan. Mereka mampu menyelesaikan masalahnya tanpa ada proyek dari manapun.
Terakhir, ini pertanyaan yang mencoba untuk menggali tentang kesadaran kita selama ini:
Sesuaikah kerja-kerja yang kita lakukan dengan apa yang selama ini dan sejak kecil kita yakini (dalam agama atau tradisi kita)?
0 komentar:
Posting Komentar