Jumat, 06 Agustus 2010

Kopwan Belum Menjawab Persoalan Riil

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk mempertajam tulisan Bagong Suyanto di harian Kompas Jatim
--------------------------------------------------------------------

Menanggapi tulisan Bagong Suyanto (Kompas, 20/07/2010) yang berjudul “Upaya Pengembangan Kopwan Jatim”, maka saya disini ingin mempertajam tentang beberapa hal terutama berkaitan dengan manfaat Kopwan, yang didirikan berdasarkan proyek Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2009, kepada masyarakat miskin. Untuk mempertajam, saya mengambil salah satu kasus di sebuah RT di desa Sengon, kecamatan Jombang, kabupaten Jombang Kota. Kenapa saya mengambil kasus kecil ini? Karena untuk mempertajam dalam melihat (zooming), maka kita harus melihat ke dalam lingkungan terkecil di masyarakat.

Masyarakat yang hidup di RT 11 desa Sengon, terutama perempuan sebagian besar terjebak ke dalam lingkaran ekonomi rente, dimana sebagian besar perempuan memiliki hutang kepada rentenir, baik kepada bank thithil atau kepada rentenir perorangan tetangga mereka. Bank thitil sendiri selama ini ada yang bebentuk koperasi yang ‘dimiliki’ oleh orang yang memiliki modal besar dan memberikan pinjaman secara mudah, tanpa administrasi berbelit dan tanpa agunan, kepada masyarakat yang dianggap sebagai nasabah.

Bunga yang diambil oleh bank thitil dari pinjaman yang diberikan bisa sampai 45 persen Jadi, jika pinjam uang 100 ribu, peminjam akan menerima 85 ribu dan akan mengembalikan 130 ribu. Pengembalian yang dicicil oleh peminjam, ditentukan oleh bank thithil dan peminjam tinggal memilih, apakah akan mencicil 12 kali (rolasan/duabelasan), 18 kali (wolulasan/delapan belasan) atau 20 kali (rongpuluhan/dua puluhan). Jika selama sekian kali cicilan, peminjam tidak mampu meneruskan cicilan, bank thithil akan menambahi pinjaman, sehingga peminjam akan terus terpuruk dan terjerat dalam cengekeraman bank thithil.

Sedangkan bunga yang diambil oleh rentenir perorangan bisa lebih besar, tergantung kesepakatan antara rentenir dengan si peminjam. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi, seorang peminjam dikenai bungan sampai 50 persen. Jadi jika pinjam satu juta rupiah, maka peminjam mengembalikan 150 ribu selama sepuluh bulan.

Kopwan dan Perlawanan Terhadap Rentenir

Kembali ke desa Sengon kecamatan Jombang, sebagai salah satu contoh. Desa yang berada di kecamatan kota tersebut, pada tahun 2009, termasuk desa yang mendapatkan proyek Kopwan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sebagaimana desa atau kelurahan yang mendapatkan dana Proyek Kopwan, desa Sengon mendapatkan kucuran dana sebesar 20 juta rupiah, ditambah dana untuk pendirian dan pengelolaan.

Dana tersebut dikelola oleh PKK desa yang sebelumnya tidak memiliki koperasi dan mendirikan koperasi karena ada proyek tersebut. Apakah dana dari proyek tersebut bisa menyelesaikan persoalan warga desa dari keterjeratan ekonomi rente? Kenyataannya, hampir setahun setelah proyek itu bergulir, warga RT 11 desa Sengon, justru masih terdesak dan berkubang dalam jeratan bank thithil, dan tidak ada upaya dari proyek tersebut atau pemerintah untuk turut membantu mengurai jeratan tersebut, baik berupa bantuan finansial atau bantuan peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan. Mereka menghadapi sendiri persoalan tersebut dengan tenaga yang sangat lemah. Akses terhadap proyek Kopwan masih jauh dari jangkauan mereka, karena tidak semua masyarakat bisa mengakses. Hal ini terutama karena persoalan informasi/sosialisasi, dimana tidak semua orang mengetahui tentang proyek tersebut. Hanya orang-orang terentu di desa yang mengetahuinya.

Berangkat dari kenyataan seperti itu, beberapa orang di RT 11 tersebut akhirnya memiliki inisiatif untuk mendirikan koperasi sendiri, tanpa ada campur tangan pemerintah melalaui proyek yang betul-betul accessable bagi orang miskin. Mereka belajar kepada tetangga RT yang sudah lebih dahulu mendirikan (pra) koperasi, yang juga tanpa ada campur tangan pemerintah dalam pendiriannya. Mereka memandang warga di tetangga RT tersebut sudah cukup baik dalam mengelola koperasi, sehingga mampu memenuhi kebutuhan modal dan keperluan biaya pendidikan anak.

Pendirian koperasi ini berangkat dari kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, yaitu persoalan susahnya mengakses modal usaha, dan persoalan terjerat dalam sekapan bank thithil(!). Mereka mendirikan koperasi bukan karena ada proyek, tetapi betul-betul berangkat dari persoalan riil yang dihadapi sehari-hari. Karena itu, keikutsertaan anggota dalam koperasi betul-betul sukarela, sesuai dengan prinsip koperasi, tidak karena ada ‘paksaan’ proyek. Koperasi yang didirikan berangkat dari kebutuhan riil anggota akan bisa berjalan lebih langgeng, daripada koperasi yang didirikan karena ada proyek.

Dalam pendirian koperasi tersebut, makna yang selalu diberikan, disamping sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan riil, adalah: koperasi sebagai alat untuk melawan jeratan bank thithil atau alat untuk melawan rentenir. Lebih jauh, sebagai alat dalam melawan ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Karena di dalam koperasi, keputusan dalam bertransaksi dilakukan secara bersama, sehingga semua orang bisa mengkses keputusan (kebijakan), berbeda dengan ketika mereka berhubungan dengan bank thithil, hampir semua keputusan dikuasai oleh bank thithil, sama halnya juga ketika berhubungan lembaga-lembaga keuangan lainnya.

Dari uraian diatas, bisa kita lihat manfaat Kopwan bagi masyarakat yang yang berada di lapisan yang paling miskin. Masyarakat yang tidak memiliki akses kepada sumberdaya ekonomi atau politik sama sekali. Kopwan masih jauh belum bisa menyentuh lapisan tersebut, sehingga mereka masih berjuang sendiri untuk menyelesaikan persoalan ekonomi mereka dengan alat yang sama (koperasi), tetapi yang benar-benar mereka dirikan sendiri.

0 komentar: