Senin, 11 Juni 2018

Dakwah Sosial Bil Ahwal

Mengajak untuk berbuat baik. Mengajak untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Mengajak untuk menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini salah satu definisi dakwah yang dibuat oleh salah seorang ulama salaf.
Selanjutnya bagaimana melakukan dakwah, selain hanya sekedar memberikan ceramah (bil aqwal), untuk mengubah kondisi buruk pelanggaran perintah Allah SWT dan menyelenggarakan larangan-larangan yang ditetapkan-Nya. Serta bagaimana perubahan terjadi, dari melanggar perintah Allah SWT dan melakukan larangan-Nya, yang muncul dari kesadaran penuh. Tidak muncul karena proses indoktrinasi.
Sementara ini, dakwah selalu melekat dengan pekerjaan berceramah ke sana ke mari. Kegiatan bagaimana agar masyarakat bisa memiliki kesadaran tidak membuang sampah di sungai, banyak yang menganggap sebagai bukan kegiatan berdakwah. Juga, kegiatan bagaimana agar kelompok masyarakat miskin memiliki akses ke lembaga-lembaga keuangan, belum dianggap sebagai kegiatan dakwah. Termasuk upaya membangun kesadaran bahwa, jika masyarakat miskin bisa kompak, maka mereka bisa menyelesaikan problem kemiskinannya, juga belum dianggap sebagai jalan dakwah.
Jika dihubungkan dengan makna dakwah di atas, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari perintah Allah SWT yang harus dilaksanakan dan larangan-Nya yang harus dijauhi. Karena perintah dan larangan tersebut, tidak terbatas pada ibadah individual, apalagi yang ritual, tetapi juga ibadah sosial yang manfaatnya dirasakan secara meluas (mutaaddy).
Upaya menjalankan dakwah dalam lingkup ibadah sosial harus menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat. Karena dakwah cara ini sentuhannya dengan masyarakat (orang banyak). Pendekatan ini mutlak dilakukan agar orang banyak bisa berjalan secara bersama dalam melakukan ibadah. Tidak sendiri-sendiri (individual)
Pendekatan pengorganisasian masyarakat ini membutuhkan instrumen agar bisa berjalan dengan baik. Instrumen yang paling pokok adalah analisa kondisi masyarakat. Setiap orang yang akan melaksanakan dakwah sosial bil ahwal harus tahu kondisi masyarakat, yang jika dikategorikan berada dalam tiga dimensi. Yaitu dimensi sosial-budaya, ekononomi dan politik.
Dalam dakwah cara ini, keterlibatan (participation) masyarakat, yang menjadi medan dakwah, sangat dibutuhkan. Karena da’i tidak akan tahu secara riil kondisi masyarakat tanpa keterlibatan masyarakat semenjak dari awal si da’i memulai dakwahnya. Keterlibatan masyarakat, karena itu merupakan pra-syarat.
Agar keterlibatan masyarakat bisa muncul dengan baik sejak dari awal, maka positioning seorang da’i sangat diperlukan. Untuk membangun positioning yang baik, pertama-tama seorang da’i harus meminimalisir prasangka-prasangka (bias). Karena jika masih ada prasangka-prasangka ini, seorang da’i akan kesulitan mengetahui kondisi sesungguhnya masyarakat, terutama dalam tiga dimensi di atas.
Yang kami lihat selama ini, kegiatan-kegiatan yang dimaknai sebagai kegiatan dakwah oleh lembaga-lembaga dakwah, termasuk lembaga dakwah di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama, adalah kegiatan dakwah bil aqwal (ceramah dll). Kalaupun ada kegiatan dakwah bil ahwal, adalah seputar pada kegiatan keagamaan.
Semestinya, banyak kegiatan dakwah dalam bidang yang lain. Misalnya dalam bidang ekonomi dengan mendirikan lembaga ekonomi secara bersama-sama, baik lembaga pengadaan barang dan jasa atau lembaga keuangan, agar masyarakat, terutama yang selama sulit dalam mengakses sumberdaya ekonomi. Juga dalam bidang politik, misalnya bagaimana masyarakat bisa mengakses sumberdaya politik. Bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam pengambilan keputusan publik, baik di tingkat desa atau di tingkat yang lebih tinggi.
Semua-nya yang tersebut membutuhkan pra-syarat organisasi. Karena itu pembangunan organisasi merupakan medan dakwah tersendiri. Karena tanpa organisasi yang baik, yang merupakan perantara (wasilah), maka upaya pencapaian perbaikan dalam dimensi-dimensi di atas tidak akan atau sulit untuk dicapai.
Untuk mewujudkan da’i dalam mesan dakwah ini, selanjutnya, dibutuhkan pendidikan khusus, dan pendidikan yang paling baik dilakukan adalah setelah para da’i melakukan kegiatan-kegiatan di masyarakat, sehingga berangkat dari pengalaman tersebut, para da’i bisa belajar. (ma)

0 komentar: