Pada bulan Mei 2005, di desa Sengon Jombang diselenggarakan sosialisasi P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Kegiatan ini secara serentak juga dilakukan di beberapa desa dan kelurahan di Jombang. Sosialisasi berisi penjelasan tentang alur proyek, yang menurut salah satu peserta pertemuan sangat rumit dan njlimet: mulai dari kesiapan masyarakat dalam menerima proyek, analisis kemiskinan sampai pembentukan badan keswadayaan masyarakat serta teknis penyaluran dana. Yang paling menarik dicermati dalam pertemuan tersebut adalah petugas dari Bappeda dan fasilitator dari sebuh perusahaan konsultan mengatakan berkali-kali bahwa, “proyek ini berbeda dari proyek-proyek sebelumnya”. Apanya yang berbeda? Yang jelas proyek ini dibatasi oleh waktu, sama dengan proyek sebelumnya; akan menciptakan kelembagaan baru dimasyarakat; menggunakan analisis yang seolah-olah sudah membebaskan; dalam rangka penyaluran dana modal dan; yang paling jelas, semuanya dalam kerangka proyek.
Dengan kondisi semacam ini, apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan pernah merubah apapun. Karena proyek yang dijalankan oleh pemerintah sangat dibatasi oleh waktu, padahal dinamika masyarakat berjalan terus sepanjang masyarakat masih hidup. Masa proyek hanya secuil waktu dari seluruh waktu dimana masyarakat hidup. Karena itu apapun yang dijalankan oleh sebuah proyek tidak akan bisa merubah masyarakat. Disamping itu proyek-proyek pemerintah selalu ingin membuat kelembagaan baru, dan sama sekali tidak menghormati kelembagaan yang ada di masyarakat. Kelembagaan yang ada di masyarakat dianggap tidak ada, atau dianggap ada tetapi belum kuat. Padahal jika kelembagaan masyarakat tidak ada atau tidak kuat ikatannya, maka saat ini juga masyarakat akan rusak dan, akan banyak terjadi anomali.
Dalam melakukan analisis kemiskinan pun, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, akhirnya dipaksakan. Orang yang tidak mampu menyekolahkan anaknya, tidak mampu beli susu anaknya, tidak memiliki kerja serta rumahnya reot di pukul rata sebagai orang miskin. Analisis berhenti sampai disini saja, padahal orang tersebut setiap hari menghabiskan rokok satu sampai dua bungkus sehari, dia juga mampu berlama-lama duduk sambil bermain judi. Kalau analisisnya sampai setajam ini, maka tidak ada orang miskin yang sesungguhnya di masyarakat. Lalu untuk apa proyek pemberantasan kemiskinan tersebut dilakukan dimasyarakat yang tidak miskin.
Karena itu, dengan pendekatan dan analisis seperti ini, proyek-proyek kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi proyek penaklukan rakyat, dimana rakyat dikenalkan dengan cara berfikir baru, yang menurut pemerintah akan merubah kondisi rakyat. Lebih ironisnya lagi, cara berfikir yang dikenalkan oleh pemerintah ini adalah hasil konsultansi yang diberikan oleh konsultan yang datang dari LSM. Cara berfikir baru ini diformulasi sedemikian rupa dalam sebuah modul yang ketat sehingga kelihatan sangat canggih diatas kertas. Modul yang disusun tersebut kalau tidak dilihat secara cermat seolah-olah sangat membebaskan, karena referensi yang digunakan oleh sang konsultan memang berasal dari bacaan-bacaan seri pembebasan rakyat serta pendidikan rakyat. Padahal kerangka formalnya sangat menindas.
Penulis mengetahui benar ketika modul tersebut di implementasikan dalam beberapa pertemuan rakyat. Pertemuan rakyat yang diselenggarakan di desa dan kelurahan tersebut difasilitasi oleh staf sebuah perusahaan konsultan, yang secara tegas menyatakan bahwa dia tidak dari LSM tetapi dari perusahaan dan juga secara tegas dikatakan bahwa yang akan difasilitasi olehnya adalah pelaksanaan proyek pemberantasan kemiskinan. Dalam pertemuan tersebut sangat jelas terlihat:
(1) Kerangka yang sangat dipahami oleh orang yang hadir dalam pertemuan adalah kerangka proyek. Bahwa dalam pertemuan tersebut yang ada dibenak seluruh orang yang hadir adalah proyek pemerintah, dimana pemerintah akan membagi-bagi modal (uang) dalam proyek tersebut. Karena dalam pertemuan tersebut sudah ada dalam kerangka itu, maka apapun yang dibicarakan oleh orang-orang yang hadir pastilah ujung-ujungnya akan bertanya: mana uang (modal) yang akan dibagikan. Pembicaraan atau analisis (analisis kemiskinan, pembuatan kelompok dst.) hanyalah formalitas yang harus di lakukan, agar pemerintah segera mencairkan uang. Bahasa yang terselubung begini: sudahlah...kita turuti saja apa maunya fasilitator dan pemerintah asal modal (uangnya) segera cair (!), disini kan... secara riil tidak ada orang miskin, jadi sudahlah... kita ngaku miskin saja. Kalau anggapannya sudah seperti itu, apapun modul, strategi atau pendekatan yang digunakan tidak ada gunanya;
(2) Jika kita tengok lebih jauh, dan oke-lah anggapan rakyat dalam item (1) tidak kita anggap untuk sementara, analisis yang terjadi serta rencana yang dibuat sungguh sebuah cara penaklukan yang luar biasa dan memecah soliditas antar orang. Rakyat disuruh melakukan analisis tentang situasi mereka, tentang kemiskinan dsb. Alat (modul) analisisnya sudah ditentukan oleh konsultan dan disampaikan oleh fasilitator atau pimpinan proyek. Dalam setiap pertemuan yang dijadwalkan berkali-kali, rakyat yang terlibat dalam pertemuan tidak boleh keluar dari modul tersebut. Pada pertemuan menjelang akhir, harus sudah punya organisasi swadaya baru yang namanya sesuai dengan permintaan modul proyek. Dari sini bisa dilihat, seolah-olah rakyat tidak punya alat analisis, dan tidak pernah melakukan analisis terhadap situasi sekitarnya, sehingga mesti diberi dan dikenalkan alat analisis. Padahal mereka sejak kecil hidup disitu, dan tahu siapa dan apa yang ada disitu, namun cara pengungkapannya tidak seperti yang dituntut oleh alat (modul) proyek, karena itu tidak akan pernah diakui dan; terakhir seolah-olah di desa/kelurahan tidak pernah ada institusi dan organisasi yang bergerak. Tidak bisa dibayangkan jika disatu kampung/desa tidak ada institusi atau organisasi yang bergerak. Pastilah masyarakat akan kacau dan sulit di kendalikan.
Kemudian, apa yang harus dilakukan? Intinya dalam proyek-proyek pemerintah adalah upaya memberantas kemiskinan melalui pemberian modal. Kalau memang benar seperti ini, kenapa pemerintah tidak bekerja sama saja secara langsung dengan per-bank-kan. Mereka lebih ahli dalam mengelola permodalan. Salah satu bank milik pemerintah bahkan sangat siap dalam sistemnya serta memiliki jangkauan hingga ke desa-desa. Kenapa pemerintah harus menangani sendiri serta kerjasama dengan perusahaan konsultan atau LSM, dimana sistem penyaluran modal yang dimiliki sangat jauh lebih buruk dari bank-bank yang ada. Disamping kondisi birokrasi yang bobrok saat ini tidak akan pernah beres dalam melaksanakan proyek-proyek penyaluran modal bagi rakyat. Pastilah slintuthan akan terjadi disetiap level birokrasi.
Jika diserahkan pada bank, unsur pemberdayaannya dimana? Jika proyek penyaluran modal bagi rakyat berarti pemberdayaannya adalah bagaimana rakyat secara bersama-sama mampu mengelola modal. Proyek semacam ini, bukan berarti tidak dilakukan, ada juga dan telah-sedang juga dilakukan, dan semestinya ini yang terus dikembangkan. Misalnya dengan bunga rendah, daripada merancang proyek-proyek baru, meskipun judulnya memberantas kemiskinan melalui permodalan tetapi ujung-ujungnya hibah. Padahal biaya proyek adalah hasil hutang.
0 komentar:
Posting Komentar