Senin, 12 April 2010

Perjuangan Pluralisme dan HAM

(Catatan Untuk Diskusi Mengenang 100 Hari Gus Dur)

Pada tanggal 8 April 2010, sekelompok Gusdurian (pecinta, penggemar dan pengikut Gus Dur) mengadakan diskusi di Jombang untuk mengenang 100 hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid. Diskusi yang dihadiri oleh dua putri Gus Dur, yaitu Inayah Wulandari dan Anita Qotrunnada tersebut membincangkan tentang bagaimana melanjutkan gagasan Gus Dur tentang pluralisme, multikulturalisme dan HAM di Indonesia. Sebagai catatan, maka disini dituliskan tentang tema tersebut.

Banyak orang salah mengerti tentang satu tatanan yang kemudian diyakini mampu menjaga ikatan antar manusia dalam sebuah kehidupan yang tidak tunggal dan terdiri dari berbagai macam bentuk, baik bentuk fisik, cita-cita, pemahaman, keyakinan, serta cara-cara yang digunakan untuk meraih dan mewujudkannya. Tatanan yang dimaksud disini adalah tentang keberagaman (bhineka) atau sering disebut plural atau multikultural.

Plural atau kata bendanya pluralisme adalah istilah yang saat ini sangat sering digunakan untuk menggantikan istilah dengan arti yang sama pada masa-masa sebelumnya sejak jaman kerajaan Hindu-Budha yaitu ketika tanah yang sekarang bernama Indonesia menjadi pusat kerajaan Majapahit. Istilah itu adalah Bhineka, yang kalau digabung menjadi Bhineka Tunggal Ika akan memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Karena itu kata Bhineka bisa diartikan dengan berbeda-beda atau dengan mahfum mukholafahnya memiliki arti “tidak tunggal”. Tidak tunggal berarti terdiri dari berbagai macam. Kalau dalam konteks Indonesia berarti terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, dialek, seni, cara mencari nafkah, agama dan lain sebagianya. Ketidaktunggalan ini adalah sebuah keniscayaan, atau atas kehendak yang Maha Mengatur dan yang Maha Menciptakan kondisi ini, meskipun tidak bisa juga melepaskan konstruksi sosial yang terjadi terus menerus dalam proses menyejarahnya manusia.

Bhineka, pluralisme, multukulturalisme adalah istilah yang maknanya tidaklah sulit dan bisa dipahami oleh semua orang. Istilah tersebut sangat mudah diartikan oleh siapa saja, apalagi oleh orang yang hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki ras, suku, agama yang berbeda, tetapi bisa hidup saling menghormati, saling membantu dan saling bersolidaritas. Istilah tersebut juga tidak memiliki makna yang bermacam-macam, yang sulit untuk dihapalkan. Jika diterjemah atau didefinisikan, maknanya tidak menghabiskan selembar kertas.

Konsep bhineka atau pluralisme memiliki makna yang sangat sangat sedikit dan terbatas, tetapi untuk memperjuangkan dan mewujudkan membutuhkan beribu, berjuta bahkan tidak terbatas cara. Setiap bangsa, komunitas atau kelompok memiliki cara tersendiri dalam memperjuangkannya. Dua atau tiga kelompok dalam komunitas yang sama akan memiliki cara yang berbeda dalam memperjuangkan dan mewujudkan. Hal ini sama dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jumlah HAM yang ada dalam konstitusi negara RI atau dalam berbagai Konvensi Internasional yang harus dilindungi, dipenuhi dan dipromosikan bisa dihitung dengan jari tangan kita, tetapi cara untuk memperjuangkan hak-hak tersebut tidak terbatas.

Hak seorang yang sama dalam dua komunitas yang berbeda memiliki cara perjuangan yang berbeda. Mungkin ada kemiripan, tetapi karena latar belakang serta kebiasaan yang berbeda, maka cara-cara menyelesaikan persoalan juga berbeda, ada kemiripan dalam salah satu bagiannya, tetapi berbeda dalam banyak bagian. Hal ini bisa dilihat dalam dua kelompok petani yang berada diwilayah atau kabupaten yang berbeda. Misalnya kelompok petani di Pacet Mojokerto dengan kelompok petani di Ngancar Kediri. Keduanya sama-sama memiliki persoalan yang sama yaitu hak untuk hidup yang layak dilanggar, dimana mereka tidak diberi akses yang sama terhadap tanah dengan pemilik modal atau penguasa tanah, sehingga mereka sulit mengakses tanah yang menjadi alat produksi utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka tidak bisa menjalani hidup secara layak. Padahal mereka memiliki hak untuk hidup secara layak dan hak ini dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Dua kelompok tani yang hidup di wilayah yang berbeda ini masing-masing memiliki cara perjuangn yang berbeda. Kelompok tani yang pertama, bisa memperjuangkan hak dengan melakukan kolaborasi dengan wakil mereka di DPRD, sehingga perjuangan yang mereka lakukan memiliki dukungan politik yang kuat. Perjuangan yang ditempuh adalah bersama-sama dengan DPRD mendesak pemerintah (baik pemerintah kabupaten atau Perhutani) untuk memberikan hak atas tanah bagi petani. Sedangkan kelompok tani yang kedua tidak melakukan kolaborasi dengan DPRD, karena anggota DPRD yang menjadi wakil mereka tidak memiliki keberpihakan kepada mereka. Mereka berjuang sendiri dengan terus menerus membangun organisasi yang kuat dan melakukan konsolidasi terus menerus untuk secara langsung berhadapan dengan pihak perusahaan swasta yang menguasai tanah diwilayah tersebut, juga megahadapi aparat Polisi yang “dibayar” oleh perusahaan tersebut. Bupati dalam hal ini sebagai pimpinan politik yang seharusnya berfungsi dan bertungas melindungi dan mensejahterakan warganya, tidak memiliki sedikitpun keberpihakan kepada para petani ini.

Perjuangan untuk mewujudkan pemahaman dan perilaku bahwa di bumi kita ini hidup sangatlah beragam dan satu dengan yang lain harus saling menghormati, saling membantu dan saling bersolidaritas, serta perjuangan untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan hak-hak asasi manusia harus dilakukan secara terus menerus. Karena pemahaman yang mengatakan bahwa hidup kita ini harus tunggal, dan yang mayoritas harus meguasai yang minoritas, serta upaya pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan terjadi terus menerus, sepanjang nafsu manusia selalu ingin menguasai manusia yang lain terus terjadi.

Karena itu, perjuangan untuk mewujudkan hal tersebut diatas membutuhkan kesabaran yang luar biasa, karena kalau tidak maka kita akan mudah terseret melakukan perjuangan dengan cara-cara yang sama digunakan oleh orang-orang atau kelompok yang selama menentang perjuangan pluralisme dan hak asasi manusia yaitu dengan cara yang agresif, penuh amarah dan menghalalkan kekerasan. Cara-cara tersebut adalah cara kiri ke kanak-kanakan. Seolah-olah apa yang dilakukan dalam memperjuangkan pluralisme dan hak asasi manusia adalah cara-cara yang revolusioner dan penuh kobaran api perjuangan, padahal cara-cara tersebut justru malah berjangka pendek dan sesaat. Kesabaran dalam memperjuangkan harus selalu menjadi pedoman, karena apa yang kita perjuangkan tidaklah akan berakhir dalam jangka waktu yang singkat.

Tetapi meskipun kita selalu bersabar, kita juga harus bisa meraih kemenangan-kemenangan kecil dalam jangka waktu pendek. Dengan kemenangan-kemenangan kecil ini, kita akan bisa menumpuk menjadi kemenangan besar dalam jangka waktu yang lebih panjang, tetapi jangan diartikan kemenangan-kemenangan kecil ini selalu berbentuk nyata. Karena hal ini tergantung pemaknaan yang selalu kita berikan dalam perjuangan. Sehingga penting bagi kita untuk selalu memberikan makna terhadap tahapan perjuangan yang telah kita lakukan.

Dengan begini, maka bisa kita catat bahwa, perjuangan untuk mewujudkan pluralisme dan hak asasi manusia bisa dilakukan dengan cara tak terbatas dan harus dilakukan dengan penuh kesabaran karena perjuangan ini akan kita lakukan sepanjang hidup di dunia. Meskipun begitu bukan berarati kita tidak boleh dibanggakan dengan kemenangan-kemenangan kecil yang bisa memberikan semangat baru untuk perjuangan selanjutnya.

0 komentar: