Minggu, 27 Maret 2011

Surat Untuk Guru Anakku (2)

Jombang, 11 Agustus 2008


Kepada yang terhormat
Bapak Supangkat (Kepala Sekolah)
Ibu/bapak guru
Komite
Di- SDN I Sengon Jombang


Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Sebelumnya perkenalkan bahwa, kami adalah orang tua/wali murid ananda M. La Rayba Fie (Arfie), siswa kelas I SDN I Sengon Jombang.

Bersama ini, kami selaku orang tua/wali murid ananda Arfie, ingin menghaturkan persoalan untuk disampaikan kepada bapak Supangkat (Kepala SDN I Sengon), ibu-ibu dan bapak-bapak guru di SDN I Sengon. Pertama-tama yang ingin kami tekanankan sebelumnya adalah bahwa, surat ini adalah sebagai salah satu upaya kami selaku orang tua murid untuk turut berpartisipasi dalam rangka mengembangkan proses belajar yang lebih baik di SDN I Sengon, karena itu tidak ada maksud sedikitpun dari kami untuk menggurui bapak atau bahkan menghambat proses belajar di SDN I Sengon, dimana anak kami adalah menjadi salah satu bagian proses belajar tersebut.

Kami menilai proses belajar di SDN I Sengon sudah berjalan dengan baik. Kami juga sebagai orang tua/wali murid juga sudah menjalankan tugas dan kewajiban kami untuk selalu mengajak dan merangsang, khususnya kepada anak kami untuk selalu mendiskusikan hasil belajar di sekolah. Kami dengan sekuat tenaga selalu meluangkan waktu setiap hari untuk mengajak anak kami mendiskusikan tentang bagaimana proses belajar di sekolah dan apa yang telah dipelajari dari sekolah. Karena itu, kami sampai hari ini mengatahui, apa yang pelajari dan apa yang terjadi disekolah. Sekali lagi, hal ini adalah sebagai usaha kami untuk bertanggungjawab mengemban amanah dalam menghantarkan anak kami menjadi manusia yang, bukan saja pandai dan pintar, tetapi juga menjadi dewasa dan matang. Kami kira, bapak kepala sekolah juga pernah mengatakan hal ini, ketika sekolah mengundang kami para orang tua/wali murid di hari pertama masuk sekolah, dimana orang tua/wali murid seharusnya juga memiliki tanggungjawab dalam melakukan pendidikan ketika di rumah.

Namun, sebelum bapak mengatakan hal tersebut, kami sebagai orang tua telah menyadari bahwa, pendidikan di sekolah adalah bagian kecil dari luasnya pendidikan yang harus ditempuh oleh anak. Sebagian besar pendidikan anak akan dilewati di dalam rumah dan di lingkungan sekitar rumah baik di kampung, desa sampai secara global. Saya teringat salah satu buku yang ditulis oleh seorang ahli pendidikan Roem Topatimasang dalam bukunya “Sekolah itu Candu” bahwa, sekolah berasal dari bahasa Yunani: scollae, yang artinya waktu senggang. Pada mulanya sekolah itu adalah proses pendidikan khusus yang diberikan kepada anak di waktu senggang. Di waktu senggang seorang anak yang sibuk bermain dan mengenal lingkungan di keluarga. Namun konsep ini lambat laun dipolitisasi dan akhirnya sekolah menjadi sangat birokratis dan terjadi proses menguasai dan dikuasai.

Bapak Supangkat, ibu dan bapak guru yang baik....
Kami meskipun saat ini tidak mengabdi di sekolah tetapi kami mempelajari dan mempraktikkan konsep-konsep pendidikan, terutama pendidikan pemerdekaan dan pendidikan orang dewasa (adult education) terutama untuk menyelesaikan berbagai persoalan kongkrit masyarakat kita termasuk anak-anak di desa-desa dan kota dimana kami bekerja.

Pendidikan pemerdekaan yang kami maksudkan adalah pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Bagaimana manusia mengerti bahwa dia adalah manusia. Ketika manusia menjadi manusia, maka dia sadar bahwa dia bukan benda. Karena bukan benda maka sedikitpun dia tidak bisa dijadikan obyek. Karena tidak bisa dijadikan obyek, maka dia harus menjadi subyek, karena menjadi subyek maka dia harus merdeka untuk menentukan kemanah arah kedepan yang akan diambil dan apa yang akan dilakukan. Pengertian ini kami ambil dari pengertian yang pernah diberikan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara. Tentu pengertian ini akan mengalami penyesuaian ketika seorang hidup dalam komunitas (bersama-sama), maka kemerdekaan menentukan akan dinegosiasikan dengan seorang lain, tetapi tetap menjunjung kemerdekaan setiap orang.

Sedangkan, pendidikan orang dewasa (adult education) yang kami maksudkan adalah bukan pendidikan yang diberikan kepada orang yang sudah berumur dewasa, tetapi pendidikan yang menganggap bahwa seluruh orang yang terlibat dalam proses pendidikan adalah orang dewasa. Orang dewasa itu berbeda dengan orang yang berumur dewasa. Anak-anak pun bisa kita anggap sebagai orang dewasa. Karena ketika kita menganggap anak bukan sebagai orang yang dewasa, maka tindakan kita “pasti” akan meremehkan anak, bahkan hal yang paling berbahaya adalah menganggap anak sebagai bukan orang. Ini jika kita sadari betul, sering terjadi pada kita. Dampaknya adalah anak-anak tidak pernah kita libatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan. Jika di rumah, anak tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan keputusan keluarga. Hanya orang tua yang memutuskan. Jika di sekolah, anak tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan sekolah. Hanya guru, wali murid dan komite sekolah yang membuat keputusan. Anak (murid), sekain lagi dianggap tidak (belum) patut terlibat dalam membuat keputusan. Padahal keputusan tersebut akan sangat berdampak kepada anak (siswa), dan yang akan menjadi legal object oleh keputusan itu adalah anak (siswa). Karena itu, tidak sedikit keputusan-keputusan yang telah kita buat banyak yang dilanggar, hal ini bermula dari ketika seseorang masih dalam tahap pertumbuhan, dan dibiasakan dengan menjalankan keputusan yang tidak dia sepakati karena tidak dilibatkan.

Bapak Supangkat, ibu dan bapak guru yang baik...
Diskusi kami yang kami lakukan di rumah dengan anak kami hampir setiap kali selesai belajar di sekolah kami lakukan dengan pengungkapan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang hampir sering kami ungkapkan adalah: tadi apa pelajarannya? bagaimana dengan teman-temanmu? bagaimana dengan bapak dan ibu guru? Terkadang ada jawaban dari anak kami bahwa, tadi di sekolah ada seorang teman yang menangis, tidak bisa pelajaran, bertengkar dan lain sebagainya. Jawaban-jawaban tersebut menjadi bahan diskusi kami dengan anak kami, dan kami selalu mengajak anak kami untuk mencari penyelesaian jika masalah-masalah tadi muncul. Bagaimana jika ada teman yang menangis, bagaimana jika ada teman yang tidak bisa pelajaran dan bagaimana jika ada teman yang bertengkar.

Sementara ini kesimpulan dari diskusi kami dengan anak kami adalah: jika ada teman yang menangis dan memiliki masalah harus ditolong, dan ditanya kenapa menangis, jika ada teman yang tidak bisa pelajaran, harus dibantu agar tidak ketinggalam dalam pelajaran. Hal ini sering kami diskusikan agar anak tidak terjebak dalam paham individualistik yang saat ini marak dan saat ini berkembang menjadi paham neo-liberlisme yang terbukti merusak kehidupan kita, dimana dalam paham ini kompetisi menjadi upaya yang harus dilakukan, bahkan dengan cara-cara yang tidak sehat. Jauh dari budaya gotong royong (kolektivisme)yang menjadi dasar dari kehidupan kita bermasyarakat sejak lama yang juga dituangkan dalam dasar negara kita. Dalam budaya gotong royong jika konteknya dalam pendidikan anak adalah bagaimana tidak hanya anak kami yang bisa tetapi semua anak di kelas bisa semua, dengan saling bantu membantu dan tolong menolong. Serta jika ada teman yang bertengkar, maka harus dilerai dan minta untuk saling minta ma’af, dan diupayakan agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan.

Diskusi yang kami lakukan dengan anak kami pada tanggal 11 September kemarin sungguh sangat mengusik pikiran kami. Karena dalam diskusi tersebut dia mengatakan bahwa dia pernah “dijambak” oleh pak Supangkat. Sungguh!! Kami sangat kaget mendengarkan perkataan anak kami tersebut. Selanjutnya kami tanyakan kenapa kamu dijambak. Dia menjawab karena rambutnya panjang dan belum dipotong. Saya kejar dengan pertanyaan, apakah kamu merasa sakit. Dia menjawab ya. Pikiran saya ketika itu langsung berkecamuk. Terjadilah apa yang pernah saya pikirkan bahwa, anak kami akan mendapat kekerasan di sekolah.

Bapak Supangkat, ibu dan bapak guru yang baik...Sekali lagi kami tidak bermaksud untuk menggurui dan memojokkan bapak. Kami hanya ingin bagaimana kedepan akan terjadi yang lebih baik. Disamping itu, hal tersebut akan terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada saya, jika kita tidak hati-hati.
Karena itu, kami sendiri sungguh sangat berhati-hati dalam melaukkan pendidikan ke anak kami. Bahkan saya berikrar dalam hati dan kepada istri saya untuk tidak sedikitpun melakukan kekerasan ke anak kami, baik kekerasan psikis maupun kekerasan fisik. Karena kekerasan, terutama kekerasan fisik secara psikologis akan menimbulkan trauma yang panjang, sekecil apapun kekerasan itu dilakukan. Kekerasan tersebut akan dibawa sampai seorang anak berumur dewasa. Secara psikologis dampaknya adalah pertama, anak akan tumbuh menjadi anak yang introvet, penakut dan tidak peduli dengan lingkungannya; kedua, anak akan tumbuh agresif. Dia akan melakukan kekerasan yang melebihi dari kekerasan yang pernah dialami. Jadi ketika kita melakukan kekerasan sekecil apapun kepada seorang anak, maka kita akan menyemai dan mewariskan kekerasan yang lebih besar pada masa-masa selanjutnya. Sejarah kekerasan besar di dunia ini dilahirkan dari kekerasan yang kecil.

Semestinya seorang anak akan tumbuh menjadi anak yang selalu berfikir logis dan kritis, jika seorang anak selalu diajak berdiskusi ketika ada sesutau yang kurang baik menurut “kita”: orang tua/guru/orang yang berumur dewasa. Dengan berdikusi, seorang anak akan belajar membangun argumentasi. Upaya belajar membangun argumentasi ini adalah salah satu upaya belajar dan merupakan upaya besar menjadikan seorang anak menjadi matang. Tidak selalu berpikir poko’e. Membangun argumentasi adalah berbicara tentang konsekuensi ke depan jika sesuatu dilakukan. Jika argumentasinya tidak tepat, maka anak harus mengikuti argumentasi yang kita bangun, sebaliknya, jika argumentasi kita kalah, maka kita juga harus legowo untuk mengikuti argumentasi yang digunakan oleh anak. Kita sendiri akhirnya juga tidak akan berpikir poko’e dan menggunakan kekerasan ketika kalah berargumentasi. Jadi memang yang belajar itu bukan hanya anak, tetapi kita sendiri juga dalam proses belajar yang terus menerus. Disinilah konteks dari hadist Nabi Muhammad SAW: belajarlah mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.

Kami kira, kita semua sudah memahami bahwa penggunaan kekerasan bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan, bahkan seperti yang kami katakan diatas. Penggunaan kekerasaan akan memicu kekerasan berikutnya. Mungkin dalam waktu dekat dan dalam tempat yang sama hal itu tidak dilakukan, tetapi di lain waktu dan tempat, seorang anak akan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, terutama kepada anak yang lebih kecil. Karena itu bagaimana kita bisa menjauhi tindakan itu, tentunya dengan selalu mengingatkan diantara kita. Kami pun membuka diri lebar-lebar dan tidak segan-segan untuk menerima baik kritikan, masukan atau apapun demi lebih majunya anak-anak kami.

Bapak Supangkat, ibu dan bapak guru yang baik...
Berkaitan dengan hal ini, kami juga ingin menyampaikan: Sepanjang yang kami ingat, kami pernah berbicara di kelas I, ketika pertemuan orang tua/wali murid dengan pihak guru dan sekolah. Kami ketika itu berbicara tentang konsep sekolah berbasis komunitas (community base). Mungkin ketika itu pembicaraan kami kurang jelas, sehingga response yang kami dapatkan ketika itu semestinya kurang nyambung. Sekolah berbasis komunitas maksudnya adalah sekolah yang ditopang betul oleh komunitas yang ada disekitar. Ditopang bukan hanya dalam artian financial, tetapi ditopang dalam artian bagaimana sekolah benar-benar berangkat dari kebutuhan komunitas disekitar, gampangnya tidak ada jarak “pemisah” antara sekolah dengan komunitas yang ada disekitar. Sekolah kenal betul dengan komunitas, sebaliknya juga begitu komunitas paham tentang sekolah. Jadi sekolah betul-betul menjadi bagian dari komunitas, tidak menjadi institusi yang berbeda. Pertama-tama, hal ini membutuhkan tempat untuk saling berbicara bagaimana membangun sebuah sistem agar sekolah betul-betul menbjadi sebuah institusi yang menopang kehidupan di komunitas, sehingga budaya yang berjalan di komunitas bisa terhubung dengan pendidikan (sebagai proses pembudayaan) yang dilakukan di sekolah. Kami yakin, jika hal ini kita lakukan, maka sekolah ini akan menjadi sekolah yang lebih baik. Karena segala sesuatu yang direncanakan dan ditopang oleh banyak akan bisa berhasil dengan baik. Karena itu, mungkin surat ini bisa dianggap sebagai salah satu upaya untuk membangun sekolah berbasis komunitas tersebut. Hal ini kami lakukan karena tidak ada wadah bagi kami untuk mengekspresikan hal-hal ini.

Bapak Supangkat, ibu dan bapak guru yang baik...
Sekali lagi...tidak ada maksud dari kami untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Kami hanya ingin agar sekolah dimana anak kami belajar menjadi sekolah yang benar-benar memiliki keunggulan, baik dari segi methodology belajarnya, hubungan antara guru dan orang tua, hubungan antara siswa dan guru dan lain sebagainya. Karena itu, kami berharap kita semua bisa bersungguh-sungguh untuk mewujudkan hal tersebut.
Semestinya, masih banyak hal yang ingin kami sampaikan dalam surat ini, namun karena keterbatasan tempat dan waktu, maka untuk sementara kami cukupkan surat ini. Mungkin lain waktu bisa kita sambung, baik melalui surat maupun melalui diskusi secara langsung, sekali lagi untuk menjadikan sekolah SDN I Sengon menjadi lebih baik. Mohon ma’af apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.


Wassalam



Muslimin Abdilla Leily Irawatie Hasan

1 komentar:

Ijin unduh ya mbak, pengin tak waca...