Senin, 09 Mei 2011

Sumbangan Pesantren Dalam Pendidikan Karakter

Pondok pesantren sejak lama dikenal sebagai lembaga pendidikan yang memberikan kontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki akhlak mulia. Karena di pondok pesantren, pengajaran tentang akhlak mulia dilakukan sejak dini. Sejak seorang anak mulai masuk menjadi santri di pesantren, sampai lulus dari pesantren, bahkan sampai hidup di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pemimpin masyarakatnya, hubungan antara pesantren dengan santri tidak terputus begitu saja.

Seorang Kiyai masih memberikan konsultasi dan melakukan pengawasan kepada santri yang sudah melakukan pengabdian di masyarakat, baik dalam dunia pendidikan maupun dalam dunia lainnya. Keputusan-keputusan penting dalam melangkah di masyarakat masih melibatkan Kiyai-nya. Keteladanan, ketabahan, keikhlasan, progresifitas (iqdam), sikap moderat, mencintai sesama, memelihara lingkungan, membangun kemandirian serta ketakwaan kepada Sang Pencipta adalah sikap-sikap yang dikembangkan dalam hubungan antara Kiyai dan santrinya, serta hubungan kiyai-santri dengan masyarakat luas.

Praktek-praktek di atas, yang saat ini marak dibicarakan sebagai pendidikan karakter, tidak berangkat dari sesuatu yang kosong, tetapi selalu berangkat dari ajaran-ajaran yang tertulis dalam nash dasar Umat Islam (al Qur’an dan al Hadist), serta dari pendapat para Sahabat Nabi dan ulama’ salaf yang mengintepretasikan nash dasar tersebut dalam kitab-kitab klasik yang jamak disebut sebagai kitab kuning.

Sedangkan hadist nabi yang menjadi dasar pelaksanaan praktek-praktek tersebut antara lain: ”Sesungguhnya aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan akhlak” (Al-hadits). Sedangkan akhlak yang dimiliki dan diajarkan oleh Nabi adalah al Qur’an (Khulquhul Qur’an). Jadi pembangunan karakter atau akhlak seluruh berdasar pada al Qur’an.

Upaya Bangsa Indonesia Dalam Membangun Karakter

Bangsa Indonesia sejak lama dikenal oleh bangsa-bangsa dunia sebagai bangsa yang memiliki akhlak atau karakter mulia. Karakter mulia yang diwarisi dari tradisi adi luhung bangsa Nusantara tersebut, mampu dirumuskan dan disepakati oleh para founding fathers beberapa bulan sebelum negara-bangsa Indonesia di deklarasikan. Bahkan sejak tahun 1928, ketika tema nation and character building hangat dibicarakan (Tobroni: 2010).

Karakter dasar bangsa Indonesia yang mampu dirumuskan oleh para founding father tersebut terangkum padat di dalam Pancasila. Karena salah satu sumber inspirasi Pancasila adalah ajaran Islam yang ada dalam al Qur’an dan al Hadist, maka tidak heran jika organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, dalam Muktamar-nya tahun 1984 tidak segan-segan dan dengan suara yang sangat lantang menyatakan menerima Pancasila sebagai azas organisasinya.

Dalam Pancasila tersimpan karakter bangsa yang sangat luhur. Ketuhanan Yang Maha Esa menyimpan makna ketakwaan. Sedangkan ketakwaan sendiri menyimpan makna yang sangat luas, yaitu imtitsal al awamir wajtinabuhu al nawah (menjalankan perintah dan menjauhi larangan). Dalam perintah dan larangan mengandung banyak sekali karakter yang harus dimiliki dan dijalankan oleh umat manusia. Salah satunya tidak berbuat curang kepada siapapun.

Yang kedua, menghormati kemanusiaan yang beradab, dengan tidak berbuat dholim kepada orang lain; menghormati hak-hak asasi manusia dan; selalu memanusiakan manusia dalam menjalankan proses pembelajaran dan mengikat hubungan dengan yang lain.

Selanjutnya berupaya menjaga persatuan dengan selalu menggalang solidaritas dan menumbuhkan kerjasama atau gotong royong antar sesama manusia sebagai cara alamiah manusia hidup di dunia. Karena itu, apabila ada persoalan selalu menggunakan cara penyelesaian melalui jalan musyawarah yang menjunjung tinggi nilai demokrasi.

Cita-cita yang akan diraih dalam menjalankan itu semua adalah menciptakan tatanan kehidupan sosial yang adil. Cita-cita ini merupakan puncak pencapaian manusia hidup di dunia.

Dalam mengoperasionalisasikan konsep-konsep dasar tentang karakter bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan dijabarakan dalam UUD 1945, telah disusun Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang tersebut tertulis jelas tentang fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter (watak) serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Karakter yang dimaksud dalam Undang-undang diatas adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Suyanto, DR, Prof.: 2010).

Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa (Tobroni: 2010). Bangsa yang tidak memiliki karakter, berari bangsa yang tidak berakhlak.


Dalam meningkatkan efektifitas pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional membuat grand design pendidikan karakter yang menjadi rujukan konseptual dan operasional. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).


Tema Membangun Karakter Kembali Hangat

Kecenderungan yang saat ini terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarkat dan berbangsa adalah semakin pudarnya perilaku akhlak mulia dan semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia. Perilaku buruk kalangan pelajar terjadi merata diseluruh Indonesia, mulai dari tawuran, pornografi yang menjangkau anak dibawa umur dan, tindak kejahatan lainnya. Sementara itu, di sisi lain, bangsa Indonesia menghadapi isu radikalisme, fundamentalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan dan jati diri bangsa yang bersendikan bhineka tunggal ika dan berdasarkan Pancasila.

Karena itu tema membangun karakter muncul kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010.

Selanjutnya, standar nasional pendidikan memasukkan pembinaan karakter dalam materi yang harus diajarkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pendidikan karakter di sekolah belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari (Sudrajat: 2010).

Sulitnya melakukan internalisasi tersebut, disinyalir karena hilangnya keteladanan. Siswa yang diajari di kelas tentang keharusan menghormati orang lain, selalu bersikap jujur, tidak boleh saling menipu dan haru selalu bekerjasama, tidak menemukan prakteknya dalam kehidupan sehari-hari. Karena begitu mereka melihat televisi, para politisi misalnya, tidak bersikap seperti pelajaran yang telah mereka terima di kelas. Hal ini banyak dirasakan terutama oleh guru-guru yang merasa kesulitan dalam mengembangkan pendidikan karakter (Kompas 02/05/11).

Kondisi tersebut tidak saja menimpa dunia pendidikan umum di Indonesia, tetapi dunia pendidikan di lingkungan pesantren juga sudah mulai terkena imbasnya. Hal ini cukup mengkhawatirkan, karena pesantren merupakan bendungan terakhir bagi bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam dalam mempertahankan watak (karakter) mulia bangsa.

Meskipun saat ini pondok pesantren berada di tengah-tengah dunia yang berubah sangat cepat, yang sangat mempengaruhi ritme perjalanannya, namun, pondok pesantren masih memiliki simpanan tenaga untuk disumbangkan dalam membangun karakter mulia bangsa Indonesia. Tenaga yang tersimpan dalam khazanah keilmuan pesantren tersebut diwarisi dari tradisi yang cukup panjang, mulai dari Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabi’in, para Imam, para Wali yang beroperasi mengajarkan akhlak luhur di Nusantara, hingga para Kiyai sepuh pemuka pondok pesantren di Indonesia.

Karena itu penting bagi pesantren, terutama pesantren yang berakar dari tradisi Nahdlatul Ulama yang menjunjung tinggi toleransi, moderatisme dan keadilan, untuk merumuskan kembali tentang pendidikan karakter, yang telah lama menjadi trade mark-nya. Tanpa ada upaya merumuskan kembali pendidikan karakter, akan menjauhkan pesantren dari akar tradisi-nya dan mengurangi sumbangsih pesantren dalam membangun karakter bangsa, di tengah-tengah kondisi bangsa yang carut marut diterpa isu radikalisme, sektarianisme, fundamentalisme bahkan terorsime yang menggunakan Islam sebagai kuda tunggangan yang cukup strategis dalam melancarkan aksi destruktifnya. (Muslimin Abdilla)

0 komentar: