Rabu, 14 Desember 2011

Les Belajar: Pemaksaan, Pengesahan Komite Sekolah dan Pungli

Kepala sekolah sebuah Sekolah Dasar dan disetujui oleh para guru akan menyelanggarakan tambahan pembelajaran (les) di luar jam pelajaran resmi sekolah. Melalui les tersebut, kepala sekolah akan menjalankan drill (istilah ini diambil dari istilah kepala sekolah, artinya sesungguhnya mengebor atau latihan militer) kepada para siswa untuk belajar lebih keras agar siswa bisa mendapatkan nilai yang tinggi, baik dalam ujian semester atau dalam ujian nasional, sehingga siswa bisa naik kelas atau lulus ujian nasional.

Les diselenggarakan di luar jam pelajaran sekolah. Biasanya dilakukan setelah jam pulang sekolah sekitar jam 1 siang, selama satu sampai dua jam. Les juga bisa diadakan sebelum jam pelajaran sekolah, sekitar jam 5.30 pagi atau 6 pagi. Bahkan diadakan pada kedua jam tersebut. Pagi sebelum jam pelajaran diadakan, dan setelah setelah jam pelajaran diadakan lagi.

Cara belajar seperti ini sungguh sangat tidak sehat, dan mengakibatkan siswa menjadi stress. Jika kita kembali pada istilah drill diatas, maka bisa kita lihat secara gambalng bahwa, paradigma yang digunakan dalam proses belajar di sekolah memang sangat tidak manusiawi dan selalu menganggap bahwa siswa (anak didik) adalah gelas yang kosong.

Dikatakan sebagai paradigma yang tidak manusiawi karena dari paradigma itu akan muncul bias bahwa, siswa merupakan obyek dari proses belajar. Anggapan inilah yang kemudian dikatakan sebagai anggapan yang tidak manusiawi. Karena menganggap seorang manusia sebagai obyek, layaknya benda yang tidak memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan menganggap siswa sebagai gelas yang kosong, merupakan manifestasi dari sikap kepala sekolah dan para guru yang tidak mengerti bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki pengetahuan sesuai dengan tingkat pengalaman yang telah dijalani. Karena itu, anggapan ini merupakan manifestasi bahwa kepala sekolah dan guru selalu menganggap bahwa siswa adalah orang yang tidak mampu, dan siswa tidak mampu karena bodoh atau sumberdayanya lemah. Satu pandangan liberal yang merendahkan kemanusiaan.

Sebaliknya, jika kepala sekolah dan guru menganggap bahwa, siswa merupakan gelas yang penuh. Maka upaya yang dilakukan selanjutnya adalah bagaimana mengaduk-aduk gelas tersebut, tidak mengisi terus menerus karena pasti tumpah. Jika proses ini yang dilakukan maka siswa akan menjadi orang yang tahu tentang pengetahuan yang dimilikinya dan mengerti bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut. Hal ini karena proses yang belajar yang dilakukan tidak sekedar menghafal, tetapi menganalisis apa yang telah diketahui. Bagaimana pengetahuan tersebut didapatkan. Mengapa pengetahuan itu ada dan untuk apa pengetahuan itu digunakan.

Itu adalah salah satu problematika diselenggarakannya les di sekolah-sekolah atau les yang diadakan oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Namun jika dilihat lebih jauh, sesungguhnya penyelenggaraan les merupakan bukti nyata dari “kegagalan guru” dalam memfasilitasi proses pembelajaran di kelas dan, kegagalan orang tua dalam mendampingi anak dalam belajar di rumah. Jika guru mampu dan “bersungguh-sungguh” memberikan materi pembelajaran yang baik dan orang tua mendampingi siswa belajar di rumah, maka les tidak diperlukan. Karena siswa sudah merasa cukup dengan pengalaman pengetahuan yang diperoleh ketika belajar di kelas dan saat pengulangan belajar di rumah. Ujian yang diberikan akan bisa dihadapi dengan itu.

Les karena itu, menjadi beban tambahan bagi siswa dalam belajar, dimana seharusnya mereka menggunakan waktu tersebut untuk bermain. Mereka sudah belajar selama 6 jam mulai pagi sampai siang, lalu ditambahi dengan pengulangan materi lagi. Apalagi metodenya menggunakan satu arah (kayak mengisi air gelas yang sudah penuh). Tentu, seperti yang dikatakan di atas, kemampuan siswa dalam menerima terbatas, dan secara tidak disadari anak menjadi stress. Kondisi ini terjadi setiap hari.

Dan yang paling fatal dari semua ini adalah keputusan tentang apakah diselenggarakan les atau tidak di sekolah, sama sekali tidak melibatkan siswa atau anak. Sekali lagi bukti siswa memang betul-betul tidak dianggap sebagai subyek. Kaputusan tentang diadakannya les atau tidak disepakati antara kepala sekolah, guru dengan orang tua siswa dan melibatkan Komite Sekolah. Sebuah kesepakatan pekerjaan seseorang yang tidak terlibat dalam kesepakatan teresebut. Betul-betul tidak dianggap sebagai manusia!

Namun persoalannya tidak hanya sampai di sini, karena yang menyebabkan semua peroalan ini terjadi adalah birokrasi pendidikan yang berderet mulai dari pusat sampai daerah. Kebijakan tentang pendidikan yang dibuat secara tanggung renteng mulai dari atas sampai bawah yang tidak berorientasi pada anak yang mengakibatkan anak sebagai obyek pendidikan, dan orientasi inilah yang mengakibatkan seluruh persoalan ini terjadi. Kenapa guru takut, karena ada kepala sekolah. Kenapa kepala sekolah takut, karena ada Kepala UPTD. Kenapa Kepala UPTD takut, karena ada Kepala Dinas Pendidikan. Kenapa Kepala Dinas Pendidiakan takut, karena ada Bupati. Kenapa Bupati takut, karena ada Menteri. Kenapa meneteri takut karena ada Presiden. Dan...kenapa siswa takut, karena ada guru.

Apa yang dipaparkan tersebut berkaitan dengan kenapa les harus dilakukan dan apa dampak yang ditimbulkan serta apa dan siapa yang menyebabkan itu semua. Jika boleh dikatakan paparan tersebut berkaitan dengan problem substansi dari les belajar di luar jam pelajaran sekolah. Disamping masalah tersebut, dari sisi prosesnya penyelenggaraan les di sekolah juga bermasalah.

Setelah kebijakan tentang Biaya Operasional Sekolah (BOS) dilaksanakan, yang dilandasi oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka sekolah baik negeri maupun swasta tidak boleh lagi memungut biaya pendidikan. Dalam satu ketentuannya, BOS hanya bisa digunakan untuk operasional sekolah, karena itu biaya untuk les tidak bisa dicover dalam BOS. Jika sekolah mengadakan tambahan pelajaran (les), maka hal itu merupakan bagian dari tugas guru yang telah mendapatkan gaji dan tunjangan setiap bulannya dari dana pendidikan.

Padahal tidak mungkin, di jaman yang sangat materialistik seperti sekarang, mengadakan les bagi siswa secara gratis, dengan pembimbing les yang tidak dibayar. Meskipun pembimbing les tersebut adalah guru mereka sendiri yang memberikan mata pelajaran tambahan yang merupakan salah satu tugas fungsionalnya yang setiap bulan ada tunjangan. Karena itu dibutuhkan biaya les untuk membayar guru yang memfasilitais les.

Kemudian dari mana sekolah-sekolah mendapatkan biaya untuk itu. Dari dana BOS tidak lagi mengcover, sedangkan melakukan tarikan ke siswa tentu sangat dilarang oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, dan bisa-bisa penyelenggara bisa dituduh melanggar Undang-undang, karena menyeleggarakan pungutan liar (Pungli). Jawaban yang paling mungkin adalah ‘memanfaatkan’ Komite Sekolah. Karena komite sekolah atas persetujuan seluruh wali murid bisa secara sah melakukan tarikan dana ke orang tua siswa.

Sementara ini, kebijakan-kebijakan sekolah masih sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada (saking jarangnya), yang melibatkan Komite Sekolah mulai dari proses awal. Kebanyakan Komite Sekolah tahu tentang kebijakan tertentu setelah mendapatkan undangan rapat yang sudah merencanakan untuk memutuskan suatu kebijakan. Komite Sekolah masih menjadi alat legitimasi jika kepala sekolah kesulitan menghadapi orang tua siswa atau kesulitan dengan dana pendidikan dari pemerintah.

Karena itu, jika kita mleihat praktek seperti ini, maka Komite Sekolah secara ‘informal’ merupakan alat legitimasi bagi kegiatan Pungli yang dilakukan oleh sekolah. Praktik ini akan terus terjadi jika tidak ada kesadaran dari orang tua wali, yang sampai saat ini menganggap bahwa, Komite Sekolah selalu berada di pihak kepala sekolah.

Jombatan, 14 Desember 2011

0 komentar: