Kamis, 05 April 2018

Belajar Bermasyarakat Dalam Baksos (I)

(Bagaian I dari 3 Tulisan)
Bakti Sosial (Baksos) mulai dilakukan oleh santri di lingkungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas sejak awal tahun 1990-an. Baksos dilakukan dengan hidup bersama masyarakat (live in) dalam jangka waktu tertentu. Saat hidup bersama masyarakat tersebut, peserta Baksos melakukan berbagai kegiatan.
Kegiatan yang menonjol dilakukan adalah kegiatan keagamaan: mengisi kegiatan mengajar Taman Pendidikan Al Quran (TPQ), bahkan ada yang mendirikan TPQ; mengisi dan menggagas kegiatan sosial keagamaan seperti tahlilan, yasinan dan istighosahan rutin dan lain-lain. Tetapi ada juga kegiatan kesenian dan olahraga.
Baksos digagas pertama kali bagi santri adalah sebagai wahana belajar untuk bermasyarakat. Belajar bagaimana hidup dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat. Upaya ini dilakukan sebagai bekal bagi santri dalam berdakwa kelak di kemudian hari. Sehingga saat pulang dari belajar di pondok pesantren, santri bisa secara luwes bergaul dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat, di manapun mereka akan tinggal. Baik di masyarakat yang homogen, yang berisi orang-orang yang memiliki kesamaan suku, agama dan ideology; maupun di masyarakat yang heterogen yang memiliki latar belakang suku, agama dan ideologi yang beragam.
Terkait dengan gagasan “hidup berada di tengah-tengah dan bersama masyarakat (live in)”, sebenarnya agak bias. Karena sebenarnya santri juga bagian dari masyarakat, bahkan masyarakat itu sendiri. Santri bukanlah kelompok yang berbeda dari masyarakat. Karena itu, istilah hidup bersama masyarakat, seolah-olah santri bukan bagian dari masyarakat.
Pengandaian ini menimbulkan bias, yang menganggap, seolah-olah santri berbeda dari masyarakat. Lebih tinggi atau lebih rendah dari masyarakat lain. Bias ini selanjutnya akan mengakibatkan santri –sebagai peserta Baksos– tidak bisa atau lama untuk menyatu dengan masyarakat yang ditempati Baksos. Karena santri menganggap masyarakat, sebagai orang atau kelompok yang berbeda dari dirinya, dan sebliknya masyarakat juga menganggap santri sebagai masyarakat yang berbeda juga. Jarak yang ditimbulkan dari anggapan inilah yang harus diminimalisir atau dihilangkan sama sekali.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menghilangkan bias ini? Bias itu muncul dari pikiran, kemudian mengalir ke pandangan, selanjutnya akan mempengaruhi sikap serta tindakan yang akan dilakukan. Dari sini bisa disampaikan bahwa, untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan bias, maka pertama-tama yang harus dibenahi dulu adalah pikiran. Di dalam pikiran, kita akan menganggap segala sesuatu. Anggapan ke masyarakat yang akan ditempati Baksos adalah bias pertama yang ada dalam pikiran kita. Jika menganggap masyarakat dimana kita akan Baksos, sebagai masyarakat yang beda dengan kita, yang miskin, tidak paham, lemah dan bodoh, maka anggapan yang ada dalam pikiran tersebut akan megalir dalam sikap dan tindakan kita kepada masyarakat tersebut.
Sikap dan tindakan kita tersebut akan ditangkap oleh masyarakat. Kemudian respon dari masyarakat adalah, kalau tidak menerima, maka mereka akan menolak sikap dan tindakan kita tersebut. Jika menerima, maka mereka benar-benar akan mendudukan dirinya sebagai yang beda dengan kita, sebagai yang miskin, tidak paham, lemah dan bodoh. Dari sini, yang akan terjadi selanjutnya adalah, hubungan antara kita sebagai orang yang datang di wilayah masyarakat tersebut, akan selalu berjarak. Karena mereka akan selalu menganggap bahwa, mereka berbeda dengan kita. Mereka adalah miskin, kita orang kaya. Mereka tidak paham, dan kita orang yang selalu paham. Mereka lemah dan kita kuat. Mereka bodoh dan kita adalah orang-orang pinter.
Padahal semua itu hanya seolah-olah. Karena kalau kita teliti dan lihat satu persatu: apakah kita beda dengan mereka? Tidak, karena kita sama-sama masyarakatnya. Lebih lanjut, kita sama-sama makhluq Allah SWT yang berakal. Yang membedakan hanya posisi-nya. Kita sebagai santri yang masih belajar di pondok pesantren, mereka tidak santri, atau sudah tidak santri yang masih belajar di pondok pesantren. Apakah kita orang yang lebih kaya secara materi, dan mereka lebih miskin dari kita? Tidak juga, mereka sudah punya rumah, sepeda motor, mobil dan lain-lain, bahkan mungkin juga memiliki tanah sawah atau kebun yang luas. Sementara kita yang masih menjadi santri di pondok pesantren belum memiliki materi apa-apa. Dengan melihat dan meneliti satu persatu seperti ini, kita mencoba untuk menghilangkan bias-bias yang ada. (ma)
berlanjut…

0 komentar: