Rabu, 02 September 2020

Mie Jawa Legenda Pak Atim Jombang

Bicara tentang kuliner Jombang, maka sangat teledor, dan bisa saja "berdosa" menurut hukum culinary, jika kita meninggalkan nama-nama besar peletak tonggak makanan dengan masakan khas orang Jombang. Jenis menu masakan mungkin sama dengan wilayah lain, tapi  ada rasa khas-nya, yang akan terekam dalam memori rasa bagi penggemarnya.

Apabila kita bicara sate kambing, jangan sekali-kali meninggalkan nama besar Pak Slamet. Jika bahas Rawon, singkirkan semua nama selain rawon Kamdina. Sedangkan untuk mie dan nasi goreng Jawa, tidak ada nama lain yang bisa diungkapkan selain nama besar Pak Atim. Untuk soto ayam, tentu nama Pak Loso yang akan bertengger di papan menu.

Nah... beberapa hari ini, saya betul-betul kangen dengan bau dan rasa mie Jawa Pak Atim. Nama legendaris yang menghiasai atmosfer kuliner mie dan nasi goreng khas Jombang, sejak masa penjajahan sampai akhir tahun 90-an. Jauh sebelum mie gerobak, yang rata-rata berbau Chinese food merajalela merambah kemana-mana bahkan sampai ke sendi-sendi perkampungan terkecil.

Bagi generasi yang tumbuh kembang paling akhir tahun 80-an, jika mau menikmati mie, maka alamat warung yang harus dituju adalah warung Mie dan Nasi Goreng Pak Atim, yang berada di kawasan "koplak-an" Pasar Legi Jombang. Saat ini berada di sekitar pasar kembang, yang berada di bagian barat Pasar Legi. Setelah Pasar Legi kebakaran pada tahun 1997, Pak Atim pindah ke jalan Merdeka Jombang, sekarang  jalan Abdurrahman Wahid. Beliau meninggal pada tahun 2001.

Ndak tahu, 3-4 hari yang lalu, aroma mie Jawa Pak Atim semerbak memantik saraf perasa saya. Ndak tahu juga, darimana aroma itu berasal. Ini memang agak semacam klenik yang bisa saja terjadi dalam dunia culinary. Setelah merenung setengah semedi hampir 2 hari, akhirnya signal lokasi yang pernah terdeteksi masuk dalam pantauan ingatan berbunyi bahwa, pewaris tunggal mie Jawa Pak Atim saat ini masih berjualan. Ya... Pak Gun. Tapi semoga dia masih berjualan. Dia adalah pewaris yang menjadi anak ideologis masakan khas Pak Atim. Karena anak biologis Pak Atim sampai saat ini tidak ada yang mewarisi.

Masih terekam jelas dalam ingatan, Pak Gun ini, kala itu adalah pemuda yang memiliki job description mengipasi bara arang yang ada di bawa wajan Pak Atim, sekaligus membungkus mie pesanan yang dibawa pulang. Pak Atim sampai akhir hayatnya termasuk penganut paham anti api minyak tanah, apalagi api elpiji. Beliau selalu menggunakan arang untuk memasak mie dan nasi goreng. Sehingga masakannya betul-betul beraroma khas.

Setelah menuju lokasi berjualan Pak Gun, dimana sekitar 5 tahun yang lalu saya mengunjungi warungnya, hampir saja saya kecewa. Karena di lokasi tidak saya temukan. Tapi alhamdulillah, setelah tanya penjaga toko yang ada di sekitar lokasi, akhirnya ditunjukkan warung emper Pak Gun. 

Pak Gun sebagai pewaris tunggal Pak Atim, saat ini berjualan di depan sebuah toko barat jalan, seberang barat Stadion Merdeka Jombang. Sekitar 50 meter dari lampu merah Stadion Merdeka. Bersama istri dan anak-anak saya mendatangi lokasi warungnya. Sebagai eks-asisten Pak Atim yang setia, rupanya Pak Gun dari sisi entertain kurang begitu menguasai. Sehingga warungnya terlihat kurang begitu menarik. Bisa dibilang sangat tidak layak untuk sebuah warung yang menyajikan masakan yang diwarisi dari seorang legenda.

Bahkan mungkin bagi gen-Z (generasi millenial), warung ini tidak akan pernah berada dalam list tempat jujugan, dibanding dengan kafe atau warung-warung yang ditata secara artistik, walau dengan sajian masakan yang rata-rata sangat amburadul dalam hal rasa.

Sampai saat ini, Pak Gun masih setia menggunakan api dari arang dalam memasak. Meskipun, dia tidak lagi menggunakan asisten untuk mengipasi arang. Saat ini, dia menggunakan kipas angin kecil untuk terus membarakan api arang. Saat masakan mulai mengepulkan asap, aroma mulai menyebar. Rasanya badan ini masih duduk di kursi kayu depan Pak Atim yang menghadap wajan di tahun 80-an. Aromanya masih sama. Mie Jawa khas Pak Atim.

Di masa pandemi wabah ini, sengaja saya tidak makan di tempat. Disamping lokasi yang menurut saya kurang nyaman, juga turut solidaritas dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Agar heigenis juga (ini sih anjuran dokter), istri juga bawa mangkuk dari rumah. Sampai di rumah, saya betul-betul menikmati masakan mie Jawa khas Jombang sampai pilinan mie terakhir. Rasanya masih seperti dulu, namun ada sedikit yang berubah, tapi overall masih tetap seperti dulu. Bagaimana ya... saya itu paling sulit jika diminta untuk mentashwir (menggambarkan) lezatnya sebuah makanan. Menurut Pak Gun, hampir semua tokoh Jombang jaman dulu pernah menikmati mie ini. (ma)

0 komentar: