Senin, 01 Oktober 2007

Tidak Ada Dialog Antar Umat Beragama

Bu Sablah, sekitar 40-an tahun, datang dari desa Karangan Kecamatan Bareng yang jaraknya sekitar 15 Km dari dusun Ngepeh, Rejoagung, Kecamatan Ngoro. Karangan dan Ngepeh adalah dua desa yang terletak di pinggiran Jombang wilayah perbatasan dengan kabupaten Kediri. Dia datang ke Ngepeh setiap tanggal 15 dalam rangka mengikuti pertemuan fans sebuah radio komunitas. Dia berangkat ke pertemuan itu pada sore hari di bonceng suaminya dengan menggunakan sepeda motor dan pulang pada tengah malam menembus kegelapan jalanan menuju desanya yang berada di pinggiran kabupaten Jombang. Semangat yang dibawa oleh Bu Sablah adalah bertemu dengan orang-orang yang berjumlah sekitar 200 orang yang datang dari desa-desa yang berada di sekitar Kecamatan Ngoro, Gudo, Wonosalam, Mojowarno Jombang dan Kecamatan Kandangan Kediri.

Dalam pertemuan yang biasanya dimulai selepas isak tersebut di ikat dengan sebuah kegiatan bersama arisan, banyak hal yang dibincangkan selain kegiatan arisan. Mulai dari diskusi-diskusi tentang gendingan (langgam Jawa), membuat rencana menghadiri secara bersama-sama ke warga yang memiliki hajat, kondisi masyarakat di setiap desa-desa, iuran dan santunan bagi warga yang sakit, sampai pada hal-hal yang bersifat mendasar tentang upaya terus melestarikan persaudaraan dan kerukunan yang menjadi pendorong kekuatan mereka untuk berkumpul.

Radio Komunitas itu adalah stasiun radio yang didirikan oleh Paguyuban Budi Luhur (PBL). Sebuah paguyuban yang didirikan dengan tujuan untuk menjalin hubungan yang baik antar umat beragama. Paguyuban ini muncul lebih karena kondisi warga dusun Ngepeh yang beragam dalam memeluk keyakinan agama. Untuk mengikat dan melestarikan hubungan yang baik selama ini serta untuk menarik kemanfaatan dari keberagaman yang ada, beberapa orang pelopor warga berinisiatif membuat sebuah organisasi yang berbentuk paguyuban. Paguyuban ini sendiri sekarang beranggotakan sekitar 190-an warga dusun Ngepeh. Semangat yang dibawa oleh Bu Sablah yang datang dari jauh menuju ke dusun Ngepeh tidak jauh berbeda dengan tujuan Paguyuban Budi Luhur: dia ingin agar semua orang mampu menjalin hubungan yang baik, tidak pandang dari mana serta dilahirkan oleh siapa.

Pada awalnya PBL semata-mata memang di dirikan untuk merespon dan mengantisipasi agar konflik-konflik antar agama yang marak ketika itu (tahun 2000) di beberapa wilayah di Indonesia tidak sampai merembet ke dusun Ngepeh. Kegiatan untuk pertama kalinya adalah kegiatan-kegiatan diskusi antar beberapa orang pelopor dari masing-masing agama. Berbagai hal di diskusikan terutama yang berkaitan dengan theology. Namun kegiatan-kegiatan diskusi ini bukanlah kegiatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kogkrit atau persoalan-persoalan dasar warga. Diskusi bisa berjalan terus namun persoalan juga ternyata berjalan terus. Kesimpulannya, hanya dengan diskusi persoalan tidak selesai. Dari sini akhirnya PBL mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomis, karena ketika itu kebutuhan kongkritnya adalah masalah ekonomi. Kegiatan ekonomis yang dilakukan untuk pertama kalinya adalah membentuk unit simpan pinjam. Seiring dengan hal ini, keanggotaan PBL mulai berkembang, dari semula hanya puluhan menjadi ratusan orang.

Setelah sekian tahun kegiatan terus dilakukan, mulai dari pertemuan, menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam, sampai pertunjukan kesenian lokal, ada perkembangan menarik yang saat ini mulai terjadi, terutama yang berkaitan dengan cara memandang dialog atau menjalin hubungan antar agama. Hal ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa, semua orang, baik itu petani, sopir, pedagang, baik yang miskin atau kaya, terutama di Indonesia atau yang lebih kecil di Ngepeh, adalah orang yang beragama, apapun agamanya. Lebih jauh lagi, saat ini agama menjadi semacam identitas seseorang, apalagi ketika kekuasaan politik juga turut serta dalam menentukan agama yang sah dan tidak serta aturan main (syari’ah dsb.) dalam agama. Dalam hal ini agama akan menjadi identitas seseorang sama persis dengan seseorang yang memiliki identitas sebagai nasionalis, demokrat, kapitalis atau identitas profesi sebagai petani, pedagang, wiraswasta dan lain sebagainya.

Keberbedaan banyak terletak pada tingkat keimanan atau kadar spiritualitas seseorang pada satu sisi dan, pada sisi yang lain terletak pada keberdayaan dan ketidakberdayaannya. Ada sebutan yang saat ini di masyarakat masih menjadi cara untuk membedakan antara orang yang memiliki kadar keimanan rendah dan tinggi. Kalangan santri dan abangan misalnya. Meskipun sebutan ini sangat dipengaruhi oleh agama mayoritas: Islam, namun di agama-agama lain hal ini juga berlaku. Namun pada prinspinya sebutan tersebut hanya membedakan kadar keimanan. Santri adalah orang yang beragama, begitu juga abangan. Kalau ditarik pada wilayah lain, misalnya dalam ilmu pengetahuan, ada orang yang ‘dianggap’ pandai dalam ilmu pengetahuan (ekonomi, politik, sosial dsb) dan ada orang yang ‘dianggap’ tidak pandai dalam ilmu pengetahuan. Orang yang dianggap pandai dalam ilmu pengetahuan akan sama, dalam hal penyebutan, dengan orang yang memiliki kadar keimanan tinggi (santri), sedangkan orang yang dianggap tidak pandai dalam ilmu pengetahuan, sama dengan orang yang memiliki kadar keimanan rendah (abangan). Jadi keberbedaannya bukan pada agama apa yang diyakini, tetapi pada tingkat pemahaman pada keyakinan tersebut.

Sedangkan pada sisi yang lain, keberbedaan terletak pada keberdayaan dan ketidakberdayaan. Sebenarnya, kenapa warga Ngepeh mampu berkumpul dan membuat organsiasi serta melakukan kegiatan secara bersama-sama. Hal ini juga lebih didasari oleh ketidakberdayaan dalam menghadapi sebuah tekanan besar. Tekanan besar ini adalah seperti yang disebutkan diatas: konflik-konflik yang muncul antar agama di beberapa wilayah di Indonesia. Dikatakan sebagai tekanan besar, karena konflik-konflik yang muncul tersebut, sebagai akibat dari kebijakan yang salah dan, mampu mengusik rasa kebersamaan orang sebagai mahluk sosial. Untuk menghadapi ini, tidak mungkin masing-masing orang merespon secara sendiri-sendiri. Rasa ketidakberdayaan ini menghinggapi semua orang dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut, yang pada akhirnya mampu menggerakkan orang per orang untuk saling bertemu dan bersama-sama. Orang per orang ini bisa datang dari manapun, dari agama apapun, profesi apapun dan wilayah manapun. Inisiatif untuk berkumpul dan menyelesaikan persoalan serta menjawab tekanan dari kekuatan besar inilah yang terus tumbuh di perkumpulan-perkumpulan masyarakat seperti Paguyuban Budi Luhur.

Karena itu, yang akan berkembang kedepan, berangkat dari pengalaman yang telah lewat, bukan lagi pada soal dialog antar agama untuk menjalin hubungan baik antar umat beragama, tetapi akan berkembang lebih jauh pada upaya membangun solidaritas antar manusia. Solidaritas dari siapapun untuk siapapun. Dalam bentuk yang lebih kongkrit untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan bersama. Itulah, yang diharapakan oleh bu Sablah yang datang secara rutin dalam sebuah pertemuan yang jauh dari tempat tinggalnya. Karena pada dasarnya dialog antar agama itu sangat abstrak dan bersifat elitis. Dialog antar agama, apalagi yang bersifat wacana, tidak lagi menjadi kebutuhan bagi kelompok-kelompok basis seperti PBL, meskipun ditingkat elit, dialog-dialog antar agama ini akan terus dilakukan.

0 komentar: