Minggu, 08 November 2009

Menciptakan Otonomi Desa Melalui Organisasi Rakyat Yang Kuat

Jika kita mencermati secara seksama revisi atau amandemen UU no. 22 tahun 2000 menjadi UU no. 32 tahun 2005 maka kita akan menemukan sesuatu yang oleh banyak kalangan dianggap kemunduran. Langkah mundur itu salah satunya adalah “tidak adanya lagi otonomi di desa”. Dalam UU no. 32 tahun 2005, otonomi desa dipangkas sedemikian rupa sehingga banyak kewenangan desa dalam mengatur desa secara mandiri hilang dari undang-undang tersebut.

Padahal otonomi desa merupakan salah satu prasyarat mengembangkan otonomi yang sesuangguhnya. Karena otonomi daerah (otonomi lokal) yang sesungguhnya berada didesa, dimana hubungan antara pemerintahan dan warga, hubungan antara tokoh dan masyarakat, serta hubungan antara produsen barang dan konsumen barang berlangsung secara berhadap-hadapan. Otonomi daerah (lokal) tidak berada di kabupaten, karena di kabupaten apalagi propinsi hubungan antar pelakunya sangat abstrak. Misalnya, bupati selaku pimpinan pemerintahan itu memimpin siapa? Jika dikatakan bupati memimpin pemerintahan di wilayah kabupaten, lalu siapa yang ada di wilayah pemerintahan tersebut? Masyarakat! Masyarakat yang mana? Ya..masyarakat yang ada di kecamatan-kecamatan. Masyarakat yang ada di kecamatan yang mana. Ya...masyarakat yang ada di desa-desa. Bukankah masyarakat yang ada di desa-desa itu sudah ada yang memimpin yaitu kepala desa; atau jika kita telusuri lagi kepala desa memimpin siapa? Masyarakat yang ada didusun-dusun. Bukankah di dusun-dusun sudah ada kepala dusunnya.

Didesa atau dusun inilah kepemimpinan sesunggunya, karena berjalan secara face to face (berhadap-hadapan) dengan orang yang dipimpin. Jadi pemerintahan ini sesungguhnya (hakikinya) pemimpinnya bukanlah presiden atau gubernur, bupati atau camat, tetapi kepala desa atau kepala dusun. Presiden sampai camat tidak akan berhadap-hadapan langsung dengan orang yang dipimpin dan tidak jelas siapa yang dipimpin, tetapi kepala desa atau kepala dusun jelas siapa yang dipimpin, jika kita bertanya siapa yang dipimpin kepala desa, kita bisa menunjuk secara kongkrit orang yang dipimpin, dan mengetahui benar, diama rumahnya, anaknya berapa, kondisi ekonominya seperti apa. Coba kita tanya ke bupati? Bisa tidak menjawab seperti itu. Dari sini dapat dikatakan bahwa, pemimpin sesungguhnya adalah pimpinan desa, sedangkan yang sementara ini dikatakan sebagai pimpinan yang berada di atas pimpinan desa sesungguhnya hanyalah koordinator. Camat atau pimpinan yang ada ditingkat kecamatan hanyalah koordinator dari para pimpinan desa. Bupati itu koordinator para camat begitu seterusnya....

Begitupula, wakil rakyat yang sesungguhnya adalah wakil yang mampu berhubungan secara langsung, dan mendapatkan mandat secara langsung dari orang yang dipimpin. Jika ditanya siapa yang kamu wakili. Seorang wakil akan menjawab, si A, B, C, D dan seterusnya. Tidak lagi dijawab secara klise, saya mewakili seluruh orang yang ada di Jombang. Karena dengan jawaban seperti ini pertanyaan akan bisa di teruskan lagi orang yang ada di Jombang siapa saja?

Membangun otonomi desa

Otonomi harus difahami sebagai bentuk kedaulatan. Siapa yang memegang kedaulatan didesa. Apakah kepala desa, perangkat desa, tokoh-tokoh desa atau warga desa secara keseluruhan. Pemegang kedaulatan disini berarti pemegang kekuasaan, baik di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Jika didesa rakyatnya sudah tidak mampu lagi menguasai bidang ekonomi, misalnya menguasai binih pertanian, berarti kedaulatan (penguasaan) ekonomi masyarakat desa tidak ada lagi; jika masyarakat desa tidak lagi menguasai bidang politik, misalnya tidak bisa menentukan pimpinan politik dan menentukan kebijakan politik desa, berarti kedaulatan politik tidak dimiliki lagi; terakhir jika masyarakat desa tidak lagi menguasai bidang sosial-budaya, misalnya masyarakat desa tidak lagi mampu menentukan hal yang baik dan buruk bagi kehidupan bermasyarakat, berarti masyarakat desa tidak lagi memiliki kedaulatan budaya.

Dalam arti yang lain, membangun otonomi desa (otonomi lokal) adalah dalam upaya menjawab proses globalisasi yang sedang berjalan. Globalisasi yang ber-idelogi neo-liberalism saat ini sedang berjalan terus. Ideologi neo-liberalisme adalah ideologi yang mengatakan salah satunya: segala sesuatu harus di liberalisasi (dibebaskan semua). Politik harus bebas, perdagangan harus bebas, budaya juga harus bebas. Liberalisasi dalam bidang Teknologi mungkin akan membawa dampak yang baik, karena akan memberikan kebebasan kepada siapapun untuk terlibat dan aktif dalam pengembaangan teknologi tidak boleh ada diskriminasi (pilih kasih). Siapapun, entah yang mantan anggota organisasi terlarang atau anggota organisasi yang membikin bangsa rusak bisa berkompetisi, tentu dengan wasit yang adil, tanpa wasit yang adil maka yang memiliki kekuatan besar akan tetap saja menggusur yang kecil. Akan menjadi bencana parah jika liberalisasi dibuat dalam bidang ekonomi dimana dunia yang ada saat ini sangat timpang. Bagaimana mungkin petani kecil di Indonesia yang subsidinya terus dikurangi (air irigasi disubsidi kecil, saprodi yang hampir-hampir tidak bersubsidi) dihadapkan dengan petani Eropah yang kaya-kaya dan mendapatkan subsidi besar. Ini sama halnya menghadapkan kesebelasan Manchester United dengan Persik, meskipun Persik latihan berbulan-bulan dan Manchester United tanpa latihan. Persik akan tetap tak berdaya menghadapi Manchester United.

Semboyan-semboyan yang mengatakan, manusia Indonesia lemah sumberdayanya, manusia Indonesia tidak giat bekerja (malas) dst. adalah simbol semboyan-semboyan yang dikembangkan oleh penganjur neo-liberalisme. Padahal jika dibandingkan, sumberdaya manusia Indonesia tidak kalah dengan sumberdaya manusia negara-negara maju; begitu juga, jangan sampai dikatakan manusia Indonesia malas-malas! Manusia Indonesia itu kerja lebih delapan jam bahkan ada yang 12 jam sehari, namun dibayar sama dengan satu jam manusia yang bekerja di negara maju. Kalau dikatakan mals-malas, dalam sebuah negara yang sangat sedikit memberikan subsidi kepada rakyatnya, manusia Indonesia bisa hidup dengan kerja kerasnya.

Bukan...bukan... Manusia Indonesia miskin seperti sekarang ini, bukan karena mereka malas atau memiliki SDM rendah, tetapi karena ada struktur kuasa (politik dan ekonomi) yang membuat mereka miskin. Apa struktur kuasa itu? Yaitu kekuasaan yang membuat manusia Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam struktur politik, kekuasaan bekerja ditandai dengan mereka takut, takut kena tangkap misalnya atau takut jika berbicara akan dikucilkan secara politik. Atau kalau dalam struktur ekonomi, masyarakat tidak memiliki kekuatan modal. Sementara di luar ada penguasa modal yang satu orang kekayaannya sama dengan 25 juta masyarakat kecil Indonesia.

Karena itu, untuk melawan globalisasi ini harus dilakukan dengan gerakan lokalisasi. Gerakan lokalisasi adalah gerakan kembali pada kekuatan lokal. Siapa kekuatan lokal? dalam tulisan diatas sudah dibicarakan. Beri masyarakat desa kekuasan politik dengan memberikan seluruh keputusan politik ke desa, agar mereka mampu berdaulat atas seluruh sumberdaya ekonomi yang ada disekitarnya dan mampu mengakses sumber-sumber ekonomi yang diperuntukkan bagi mereka. Dengan ini diharapkan masyarakat desa akan bertambah kekuatannya.

Memahami bahwa semua adalah fungsi bukan kekuasaan

Struktur pemerintahan desa, Kepala Desa, LMD/ BPD, Kepala Dusun, Rukun Warga, dan Rukun Tetangga harus dipahami sebagai fungsi. Fungsi untuk melayani. Jangan lagi dianggap struktur itu sebagai struktur kuasa. Sehingga menganggap bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan kekuasaan yang berarti kepala desa adalah penguasa. Jika kepala desa penguasa berarti warga desa dikuasai olehnya. Jika hubungan ini terjadi maka akan menyalahi khittoh kita sebagai manusia. Dimana tidak boleh seorang dikuasai oleh orang lain, karena ini tidak adil! Keadilan itulah yang selalu kita perjuangkan didunia ini.

Dengan memahami bahwa struktur pemerintahan desa adalah fungsi, maka akan lebih mudah untuk menggerakan roda pemerintahan. Segala keputusan berarti harus dibicarakan secara bersama-sama lalu disepakati dan dijalankan sesuai tugas masing-masing.

Untuk membangun kesepakatan dan menjalankannya dengan baik atau dalam arti yang lain: memanajemeni, organisasi desa atau organisasi masyarakat apapun harus mengikuti tiga syarat: 1. Harus ada kepemimpinan yang berjalan baik (ingat kepemimpinan bukan kekuasaan), 2. Harus tertib, menjalankan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan main yang dibuat dan, 3. harus melakukan konsolidasi terus menerus. Setiap kegiatan selesai dilakukan, diambil pelajarannya lalu dijadikan bekal untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan selanjutnya.

Organisasi rakyat perlu support pemerintahan desa

Agar masyarakat bisa berkembang maka mau tidak mau institusi atau organisasi rakyat harus di kembangkan. Jangan takut bahwa ketika rakyat pinter maka rakyat akan berontak. Kecuali memang ketika ada ketidakberesan yang bersifat kriminal: mencuri, memanipulasi, maka mau tidak mau, siapapun harus berhadap-hadapan dengan hukum. Jika, masyarakat telah terbiasa menyelesaikan persoalannya secara bersama-sama (dalam organisasi), peran pemerintah sebenarnya semakin sedikit dan tidak repot lagi. Sering kali, pemerintah desa justru tidak melihat bahwa rakyatnya dapat menyelesaikan persoalan mereka sendiri, malah sebaliknya melihat mereka harus diatur dan diawasi. Sehingga, inisiatif rakyatnya untuk memperbaiki/menyelesaikan masalah mereka menjadi hilang dan tidak pernah muncul kembali.

Sebaliknya, jika pemerintah desa mendorong warganya mendiskusikan persoalannya secara baik-baik di kelompok-kelompok pengajian, arisan, dan organisasi lainnya, maka rakyat semakin banyak ide/gagasan terkait dengan solusi masalahnya. Dari sinilah, semangat membangun desa harus dimulai, membangun kemandirian desa segera didorong, membangun otonomi desa harus disupport pemerintah desa. Maka, tidak ada kata gagal membangun kemandirian desa, jika dilakukan bersama-sama.(Mus-Abdilla)

0 komentar: