Senin, 02 November 2009

Puasa dan Perjuangan Keadilan

Sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah kepada manusia pilihan-Nya, hikmah utama puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Taqwa artinya menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh-Nya. Penjelasan tentang segala hal yang diperintah dan segala hal yang dilarang, banyak tertulis dalam al Qur’an dan al Hadist sebagai referensi dasar (basic text) umat Islam, serta berbagai buku baik yang klasik atau yang kekinian.

Menjalankan segala perintah Allah ta’ala yang terkandung dalam makna taqwa adalah menjalankan segala hal, baik yang berdimensi individual maupun yang berdimensi sosial. Yang berdimensi individual berarti menjalankan ibadah-ibadah mahdlah, yang berupa ibadah dimana keuntungannya hanya diperoleh oleh pribadi orang yang menjalankan ibadah, sedangkan yang berdimensi sosial berarti ibadah-ibadah ghoiru mahdlah, yang keuntungan atau kemanfaatannya dirasakan tidak saja oleh pribadi yang menjalankan ibadah tetapi juga oleh orang lain.

Bahasan tentang ibadah mahdlah (individual) sangat sering kita dengarkan, bahkan hampir setiap hari ceramah agama lewat berbagai media banyak membicarakan tentang ibadah mahdlah: tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah melalui ritual agama dan lain sebagainya. Sedangkan bahasan tentang ibadah sosial jarang sekali diulas secara baik dan tajam, terutama untuk membangun kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan di dunia. Tetapi bukan berarti hanya untuk dunia, karena upaya membangun sosial sebagai sebuah ibadah juga pasti akan memiliki dampak di akhirat.

Karena itu, dalam kesempatan ini dan selanjutnya, kita coba untuk mendiskusikan dan mengurai berbagai hal tentang ibadah sosial. Bukan tanpa alasan, jika uraian ini sangat perlu dilakukan, karena sangat pentingnya posisi ibadah sosial, terutama dalam membangun kehidupan di dunia dan menyiapkan kehidupan akhirat. Bahkan ahli fiqh KH. Sahal Mahfudz secara tegas menyatakan bahwa, ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.

Ibadah sosial pada intinya bertujuan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan sosial. Membangun keadilan sosial tidak bisa dilakukan hanya sendirian, tetapi harus dengan jalan melakukan pengorganisasian karena al Haqqu Bila Nidhomin Yaghlibuhul Bathil Binnidhomin (kebenaran tak terorganisir akan mudah dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir). Pengorganisasian mula-mula dilakukan dengan keberpihakan kepada yang miskin dan tertindas (mustadl’afin), baik miskin dan tertindas secara politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Bersama dengan yang miskin dan tertindas inilah pengorganisasian dilakukan. Bagaimana menggalang orang-orang miskin dan tertindas agar mereka memiliki kekuatan untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri. Untuk lebih memperjelas, siapa orang miskin dan tertindas tersebut? Bisa saja orang miskin dan tertindas tersebut adalah diri kita sendiri juga.

Mula-mula untuk merekatkan hubungan dan membangun kepercayaan diantara yang miskin dan tertindas, harus melakukan kegiatan-kegiatan nyata dan kongkrit untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan kongkrit. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan ini disamping menjawab kebutuhan kongkrit juga “diniati” untuk membangun kesadaran dan ikatan solidaritas diantara kita yang miskin dan tertindas. Dari ikatan solidaritas yang kuat inilah perjuangan untuk mengakses sumberdaya ekonomi, politik dan sosial-budaya dijalankan, serta selanjutnya perjuangan keadilan secara bersama-sama dilakukan.

Puasa, disamping berdimensi individual, karena manfaat dari menjalankan puasa adalah hanya untuk pribadi yang menjalankan puasa, juga memiliki andil dalam merangsang untuk menjalankan ibadah sosial. Karena dalam ibadah puasa, kita diharuskan tidak makan dan minum sepanjang hari mulai dari waktu imsak sampai waktu maghrib. Hikmah tidak boleh makan dan minum ini adalah agar kita bisa merasakan kondisi orang miskin yang setiap hari selalu lapar karena tidak memiliki makanan, sehingga kemudian memberi inspirasi kepada kita untuk berbuat sesuatu bagi orang miskin.

Berbuat sesuatu bagi orang miskin ini tidak hanya sekedar memberi orang miskin nasi atau sembako. Karena dengan hanya memberi sembako, tidak akan pernah merubah kemiskinan seseorang, justru malah menimbulkan ketergantungan si miskin kepada pemberi bantuan. Berbuat sesuatu bagi orang miskin agar mereka bisa terentas dari lubang kemiskinan dengan jalan seperti yang teruarai diatas, yaitu dengan mengorganisasikan mereka atau mendorong mereka untuk mengakses sumberdaya ekonomi, politik dan sosial-budaya. Akses ini bisa terbuka jika struktur ekonomi, politik dan sosial tidak dikuasai oleh orang miskin, yang kemudian digunakan untuk sebesar-besar kepentingan orang miskin. Jika tidak, berarti perjuangan untuk merebut akses tersebut harus terus dilakukan. Upaya terus menerus ini adalah ibadah yang tiada henti sampai ajal menjemput kita.**

0 komentar: