Selasa, 03 Agustus 2010

Pengurangan Resiko Bencana Sebagai Bagian Dari Membangun Gerakan Rakyat

Tulisan ini merupakan salah satu tulisan kontribusi dalam buku "Upaya Masyarakat Sipil Dalam Pengurangan Resiko Bencana" yang disunting oleh Adi Nugroho dan diterbitkan oleh SHEEP Yogyakarta tahun 2008.

Penanggulangan terhadap bencana telah dilakukan oleh manusia sejak bencana menimbulkan dampak yang buruk kepada manusia. Ini berarti penanggualangan dampak bencana, bahkan upaya mencegahnya sudah dilakukan oleh menusia, sejak manusia mengenal dampak buruk sebuah bencana, baik bencana yang ditimbulkan oleh alam, maupun bencana yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia (bencana non alam), misalnya bencana yang ditimbulkan oleh gagal teknologi, gagal modernisasi serta epidemi atau bencana sosial (kemanusiaan) yang diakibatkan oleh konflik antar manusia atau perang.

Penanggulangan terhadap bencana tidak akan pernah dilakukan jika di dunia ini tidak pernah ada manusia. Pikiran ini hampir mirip dengan pikiran tentang hakikat hidup manusia di dunia. Tidak akan pernah ada yang baik dan yang buruk, jika tidak ada manusia di dunia. Jadi, penaggulangan bencana dilakukan oleh manusia sejak manusia itu ada. Meskipun dengan cara yang berbeda-beda, tergantung cara manusia dalam memenuhi kebutuhannya atau tergantung dari kebudayaan (termasuk teknologi) yang diciptakan oleh manusia dalam periode kehidupan yang berbeda-beda.

Bahkan, badan-badan atau organisasi didirikan untuk menanggulangi bencana secara khusus, baik yang berada dibawah koordinasi negara atau yang berada dibawah lembaga-lembaga keagamaan. Badan-badan atau oragnisasi-organisasi tersebut secara terus menerus memberikan bantuan kepada masyarakat korban bencana dan mencari dan mendiskusikan cara memberikan bantuan yang paling efektif dan bagaimana melakukan pencegahan agar bencana tidak memberikan dampak yang lebih buruk kepada manusia. Sumberdaya yang tidak terbatas, baik manusia atau dana didedikasikan untuk terus mencari upaya yang paling efektif mengurangi dampak bencana. Meskipun kesekapatan-kesepakatan internasional dibuat dan cara-cara pengurangan resiko bencana berkembang, sejalan dengan berkembangnya teknologi, namun ancaman bencana masih menjadi sesuatu yang menantang secara internasional.

Upaya mutakhir dalam upaya mengurangi dampak bencana secara internasional adalah Konferensi Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana (Asian Conference on Disaster
Reduction/ACDR) diselenggarakan di Beijing, Cina, pada September 2005, yang memfasilitasi bagi setiap negara untuk melaksanakan hasil-hasil dari Konferensi Sedunia tentang Pengurangan risiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan di Kobe, Hyogo, Jepang. Didalam koneferensi tersebut dibuat beberapa ksepakatan. Meskipun masih ada beberapa ‘kecurigaan’ dalam upaya Pengurangan Resiko bencana tersebut, namun konferensi-konferensi tersebut merupakan upaya membangun solidaritas oleh seluruh komunitas internasional dalam Pengurangan Resiko Bencana.

Di Indonesia, Pengurangan Resiko Bencana menjadi bahasan yang cukup hangat setelah terjadinya bencana alam paling dahsyat yang terjadi di era Indonesia modern, yaitu bencana tsunami yang menewaskan sekitar 200 ribu orang lebih di Aceh, Sumatra Utara, dan di beberapa negara termasuk di Thailand dan Srilanka. Apalagi kemudian Indonesia seakan menjadi langganan bencana alam yang datang silih berganti, mulai dari gempa bumi, gunung meletus, angin topan, banjir dan, tanah longsor. Bahkan bencana non alam yang ditimbulkan oleh gagal teknologi yang terbesar di Indonesia bahkan mungkin di dunia, karena pengaruhnya dari sisi ruang dan waktu yang cukup luas, juga terjadi yaitu bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo. (hasil International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008,
oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) bahwa, bencana lumpur Lapindo adalah bencana karena gagal teknologi)

Dalam pandangan ALHA-RAKA sendiri, Pengurangan Resiko Bencana merupakan (dijadikan) perspektif dalam upaya membangun gerakan rakyat. Ketika menjadi perspektif berarti, Pengurangan Resiko Bencana akan menjadi sesuatu yang menghiasai, memberi nilai, dan menjadi pertimbangan seluruh kegiatan yang dilakukan dalam upaya membangun gerakan rakyat. Bahkan kami menyebut perspektif Pengurangan Resiko Bencana masuk dalam isu gerakan rakyat baru (new social movement) seperti halnya isu perempuan dan lingkungan, dimana dalam gerakan baru ini orang yang bisa terlibat dan memberikan solidaritas dalam gerakan berasal dari berbagai kelas sosial yang berbeda.

Karena menjadi salah satu persepktif (disamping hak asasi, demokrasi, gender, transparansi dll.) dalam upaya membangun gerakan rakyat, maka Pengurangan Resiko Bencana harus betul-betul dikuasi oleh rakyat atau berada dibawah kontrol rakyat (tidak elitis). Karena menurut kami, dalam isu Pengurangan Resiko Bencana (selanjutnya, yang enak disingkat PRB), ada kekuasaan yang tersimpan didalamnya. Karena menyimpan kekuasaan, maka ada unsur keadilan yang terkandung didalam PRB. Adil dan tidaknya upaya PRB yang dilakukan tergantung dari siapa yang menguasai keputusan-keputusan yang dibuat. Jika korban atau orang miskin turut serta menguasai, maka upaya PRB yang dilakukan akan berjalan dengan adil. Tetapi (!), jika korban atau orang miskin tidak turut serta berkuasa atau diberi kuasa, maka PRB yang dilakukan akan menimbulkan ‘bencana’ susulan yang tidak kalah dahsyatnya, yaitu bencana ketidakadilan. Mungkin, bagi sebagian kalangan, mengkaitkan antara upaya mengurangi resiko bencana dengan keadilan bagi korban bencana agak terlalu jauh, tetapi bagi kami yang berupaya membangun keadilan disegala lini melalui gerakan sosial, keadilan harus dijalankan disegala lini, dimanapun ada kekuasaan yang bekerja.

Sebagai bagian dalam upaya membangun gerakan rakyat, maka kerja-kerja dalam PRB diletakkan dalam kategori tiga pilar kerja, sebagaimana yang selama ini sudah banyak dikenal. Pertama, mempengaruhi pembuat keputusan politik formal --atau jika mungkin mengambil alih pembuatan keputusan politik formal-- agar keputusan-keputusan politik mendukung upaya PRB. Kerja ini akan menghasilkan perundangan atau peraturan-peraturan politik yang mendukung upaya PRB. Hal ini terutama untuk menjamin hak-hak warga negara yang harus dilindungi dari segala macam bencana, termasuk bencana alam. Karena jika negara tidak mampu memberikan hak-hak sebagai warga negara, misalnya negara tidak memberikan informasi yang benar atau tidak melakukan pelatihan dan pendidikan kepada warga negara tentang pengurangan resiko bencana, maka negara dalam hal ini instansi yang terkait dengan perlindungan warga negara dari ancaman bencana bisa dikatakan melakukan pelanggaran hak asasi.

Pilar yang kedua adalah melakukan upaya penyadaran dan mengorganisasikan masyarakat sebagai usaha kesiapsiagaan dan mitigasi. Upaya penyadaran dijalankan dengan melakukan kegiatan-kegiatan kongkrit dalam menjawab persoalan-persoalan. Ancaman bencana adalah salah satu persoalan, karena itu harus dijawab. Jika tidak dijawab, maka akan terus menjadi persoalan. Usaha kongkrit yang bisa dilakukan dalam menjawab persoalan tersebut adalah membicarakan tentang cara-cara atau strategi agar bisa keluar dari ancaman bencana tersebut. Usaha ini termasuk workshop atau pelatihan bagaimana melakukan pengurangan resiko bencana, terutama kepada anak-anak. Upaya penyadaran ini juga sebagai upaya mengorganisasikan masyarakat: menjalin solidaritas dan membuat pembagian kerja.

Menjalin solidaritas tidak hanya dilakukan dalam masyarakat yang rentan bencana, tetapi juga dilakukan secara lebih luas kepada masyarakat diluar wilayah. Membangun solidaritas ini sangat penting sekali, karena bencana tidak bisa dihadapi dan diselesaikan hanya oleh orang yang dalam atau dekat wilayah bencana. Segala bantuan yang datang dari luar, sebelum, ketika atau setelah bencana harus dimaknai sebagai pemberian solidaritas. Solidaritas antar manusia, yang sama-sama hidup didunia. Hal ini penting dilakukan, mengingat dalam PRB ada kekuasaan yang tersimpan, seperti yang disebutkan di atas.

Disamping itu yang lebih penting dalam mengorganisasikan masyarakat adalah membuat pembagian kerja, baik sebelum, ketika dan setelah bencana atau ketika pada masa kesiapsiagaan, pada masa tanggap darurat, rehabilitasi dan rekosntruksi. Hal ini, pertama-tama harus dilakukan sendiri oleh masyarakat yang berada dalam wilayah rentan bencana, karena merekalah yang pertama menghadapi. Dalam pembagian kerja ini terutama dibentuk siapa yang memimpin upaya pencegahan, misalnya kegiatan penanaman kembali, membunyikan tanda bahaya dll; siapa yang memimpin menjalin solidaritas dengan pihak luar; siapa yang memimpin ketika bencana telah terjadi.

Sedangkan yang terakhir atau yang ketiga adalah upaya menyiapkan dukungan bagi kedua upaya diatas. Bahan-bahan yang harus disiapkan sebagai bahan dukungan, misalnya data-data lapangan, hasil riset, modul pelatihan bahkan akomodasi dan pendanaan agar kedua upaya diatas bisa berjalan dengan baik.

Ketiga pilar kerja ini saling berhubungan satu dengan yang lain, dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Seluruhnya dilakukan terus menerus sambil juga menyelesaikan persoalan-persoalan yang lain atau menjawab kebutuhan-kebutuhan kongkrit yang dihadapi setiap hari.

Karena menjadi persepktif dalam membangun gerakan rakyat, maka PRB tidak bisa berhenti hanya dalam periode proyek, tetapi akan terus berjalan sepanjang gerakan rakyat terus menggelinding. Namun penyakitnya, seperti halnya isu-isu yang lain, PRB bisa menjadi proyek atau program yang terpisah. Jika ini terjadi maka yang dilakukan dalam PRB hanya parsial dan tidak berjalan secara terus menerus. Jika proyek atau program selesai, maka PRB juga selesai, padahal upaya pengurangan resiko bencana tidak pernah selesai. Namun, apakah PRB menjadi perspektif atau sekedar menjadi proyek adalah tergantung dari kekuatan sebuah organisasi, sebagai salah satu prasyarat menjalankan gerakan rakyat. Artinya, organisasi yang belum mampu dan masih sulit melakukan internalisasi keputusan-keputusan kelembagaan kepada anggota organisasi, maka akan kesulitan dalam menjalankan PRB sebagai persepktif.

ALHA-RAKA dalam Pengurangan Resiko Bencana
ALHA-RAKA saat ini telah dan sedang menjalankan program pengorganisasian. Program pengorganisasian yang dijalankan oleh ALHA-RAKA adalah untuk mendukung upaya membangun gerakan rakyat, dimana ALHA-RAKA adalah sebagai salah satu penopangnya (tidak berada diluar gerakan rakyat) yang menjalankan mandat sebagai pendukung dan menjalankan kerja-kerja dalam support system. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh ALHA-RAKA adalah dalam upaya menjalankan mandat dari seluruh organisasi dan individu yang bergabung dalam gerakan rakyat diwilayah, dimana ALHA-RAKA bekerja. Peran sebagai pendukung gerakan rakyat ini menempatkan ALHA-RAKA sebagai salah satu organisasi yang menjadi bagian dari gerakan rakyat sebagaimana organisasi-organisasi lain. Jika saat ini, ALHA-RAKA menjadi salah satu anggota forum aliansi rakyat di wilayah kerjanya: Jombang, kediri, Mojokerto dan Madiun, ini menunjukkan bahwa, ALHA-RAKA adalah bukan pihak yang berada diluar dari gerakan rakyat atau sebagai pengamat dari gerakan rakyat, tetapi sebagai salah satu pelaku dari gerakan rakyat.

Program pengorganisasian yang dilakukan adalah dalam upaya mewujudkan keadilan di komunitas, pasar dan negara, terutama di wilayah desa/kelurahan dan kabupaten/kota. Mewujudkan keadilan di komunitas berarti mewujudkan keadilan dalam ranah sosial-budaya; keadilan di pasar berarti keadilan di ranah ekonomi dan; keadilan di negara berarti keadilan di ranah politik. Program pengorganisasian dalam upaya mewujudkan keadilan menuju kesejahteraan di komunitas, pasar dan negara dilakukan mulai dari tempat dan lingkungan yang paling kecil di desa yaitu keluarga. Karena basis dari seluruh keadilan adalah di keluarga. Keadilan tidak akan terwujud tanpa ada keadilan di keluarga.

Berdasarkan dari uraian tersebut, maka bisa dikatakan bahwa, posisi dan peran strategis ALHA-RAKA dalam pengurangan resiko bencana adalah sebagai organisasi yang menempatkan diri sebagai supporter dalam upaya membangun gerakan rakyat, terutama dalam konteks dimana ALHA-RAKA eksis diantara organisasi-organisasi yang lain yang masuk dalam forum aliansi adalah sebagai salah satu organisasi yang menjalankan mandat dari forum tersebut.

Membangun dan mengembangkan gerakan sosial dan menjadi bagian didalamnya dengan mengambil peran sebagai supporting dalam pengorganisasian dan advokasi kebijakan, sekalim lagi, adalah posisi yang ditegaskan ALHA-RAKA. Struktur dan disain organisasi ALHA-RAKA pun menggambarkan sebuah miniatur dari kerangka kerja pengorganisasian dan advokasi. Kesungguhan untuk meneguhkan posisi dan fungsi ini dijalankan dan diwujudkan melalui berbagai tindakan dan menjalankan mekanisme manajemen organisasi secara konsisten.

Relasi dengan kelompok/komunitas yang menjadi mitra terus menerus menjadi substansi pembelajaran di internal organisasi programnya. Atas upaya ini, sudah dirasakan oleh kelompok dan komunitas bahwa ALHA-RAKA bukan semata-mata pendamping seperti pada umumnya yang dilakukan oleh NGO tetapi menjadi kawan sejalan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. ALHA-RAKA ditempatkan sebagai aliansi juga sekutu dalam perjuangan kelompok/komunitas. Pola hubungan ini juga menegaskan bahwa ALHA-RAKA adalah juga pelaku perubahan, dan bagian dari gerakan perubahan. Menjalankan pola hubungan seperti ini dengan kelompok/komunitas mendorong komunitas untuk mandiri dan mengembangkan inisiatif-inisiatif dalam mengatasi masalahnya, demikian halnya dengan ALHA-RAKA sendiri juga terus menerus mengembangkan diri agar bisa bersama-sama dengan kelompok dan komunitas. Membangun pola hubungan seperti ini mendorong tumbuhnya kekuatan rakyat yang sesungguhynya, kepercayaan dan kemampuan mereka bahwa mereka sendiri memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan demi cica-cita kesejahteraan mereka seperti yang sudah ditunjukkan hasilnya melalui perkembangan beberapa kelompok/komunitas. (Muslimin Adilla, Ketua Pengurus ALHA-RAKA)

0 komentar: