Minggu, 27 Maret 2011

Proyek-proyek besar, untuk siapa?

Tulisan ini adalah tuilsan tercecer yang baru ditemukan pada hari ini (27/03/2011), padahal tulisan ini digunakan untuk merespon kondisi pada saat tulisan dibuat yaitu (seperti yang tertulis dalam data file) bulan Juni 2004. Namun, tulisan ini masih penting untuk diposting, karena ternyata kondisinya sampai sekarang tidak berubah.

-----------------------------------------------------------------------

Pembangunan secara konsepsi adalah suatu upaya perubahan sosial yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai situasi dan kondisi yang lebih baik (Adi Purwanto, Setia:1997). Upaya perubahan tersebut direncanakan secara sistematis dan dilaksanakan secara bertahap dengan melibatkan seluruh orang yang berkepentingan terhadap pembangunan (stakeholders).

Ada dua arus yang digunakan dalam upaya pembangunan. Pertama top down, dimana segala upaya pembangunan di rencanakan, dilakukan dan dinilai dari atas. Arus ini setelah di modifikasi (sebagaimana karakter kapitalisme), di Indonesia pernah dilakukan, dengan konsep trickle down effect. Kedua bottom up, dimana segala upaya pembangunan direncanakan, dilakukan dan dinilai dari bawah. Arus ini sekarang yang sedang popular di Indonesia, paska kejatuhan konsep trickle down effect.

-*-

Pembangunan yang pernah kita alami mengandaikan konsepsi: trickle down effect. Dalam konsep ini, pembangunan di maknai dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, modus operandinya adalah melakukan ‘penggemukan’ terlebih dahulu ke sekelompok orang, melalui berbagai subsidi dan kemudahan-kemudahan dalam berusaha. Orang yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan proyek atau usaha mercusuar, di beri subsidi besar-besaran dan kemudahan-kemudahan dalam mencairkan kredit.

Diandaikan, setelah mereka sukses membangun proyek mercusuar, mereka akan meneteskan hasil usahanya ke masyarakat bawah yang miskin dan ‘kurang berbakat’ dalam bisnis besar. Upaya meneteskan hasil usaha itu bisa melalui kemitraan atau penyerapan tenaga kerja. Selama ini memang banyak sekali usahawan besar yang berhasil karena modus seperti itu, seperti yang telah dipraktekkan sekian lama dalam pemerintahan Orde Baru. Tetapi keberhasilan mereka tidak sampai pada upaya puncak dari konsep ini, yaitu trickle down effect (menetes ke bawah). Justru malah menggali jurang yang sangat lebar antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya bisa berpenghasilan netto dua ratus juta dalam satu bulan, sedangkan yang miskin berpenghasilan dua ratus ribu.

Terlepas dari banyaknya kolusi dan korupsi dari pelaksanaan konsep ini. Dimana justru orang-orang yang dekat dengan kekuasaan yang mendapatkan subsidi dan kemudahan-kemudahan kredit, meskipun mereka tidak mampu untuk menjalankan usaha besar. Dari sisi konsepsinya saja memang tidak mendukung upaya pemerataan. Yang kaya disubsidi habis-habisan, sedangkan yang miskin disuruh menunggu belas kasihan dari yang kaya.

Konsep yang berperspektif ketidakadilan dan tidak berbasis kerakyatan ini, saat ini masih digunakan oleh pemerintah kota dan kabupaten kediri dalam mengembangkan wilayahnya. Padahal saat ini, konsep atau paradigma ini sudah tidak digunakan lagi dalam upaya pembangunan. Konsep atau paradigma yang saat ini harus digunakan adalah bottom up. Karena dengan konsep ini berarti segala upaya pembangunan di semua sector harus berangkat dari bawah, dibicarakan dengan masyarakat bawah. Kalau Pemerintah kota dan kabupaten Kediri masih menggunakan konsep trickle down effect, berarti kebijakan pemerintah kota dan kabupaten Kediri tidak konsisten dengan kebijakan pemerintah diatasnya.

Contoh terbaru yang ditunjukkan oleh kedua pemerintah lokal tersebut dalam merealisasikan konsep atau paradigma lama adalah: rencana pembangunan kawasan simpang lima dan alun-laun mall. Kedua proyek tersebut merupakan proyek mercusuar yang pengandaiannya adalah setelah proyek tersebut selesai, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin baik di wilayah Kediri, baik kota maupun kabupaten. Sekali lagi patut dipertanyakan, siapakah yang pertumbuhan ekonominya akan naik, atau siapakah yang paling diuntungkan dengan selesainya proyek itu nanti. Jawaban yang paling rasional diutarakan disini adalah orang yang paling diuntungkan adalah orang yang memiliki modal besar. Dalam proyek tersebut subsidi ke orang yang memiliki modal besar pasti akan diberikan, entah subsidi tersebut berupa dana segar atau fasilitas. Karena tanpa subsidi, paling tidak berupa sarana, tidak mungkin orang yang bermodal besar (investor) akan menginjakkan kaki.

Dilihat dari kacamata apapun, proyek tersebut bukanlah proyek fisik yang berbasis kerakyatan. Karena akses rakyat rakyat kebanyakan ke kedua proyek ini sangat jauh. Daripada pemerintah kota atau kabupaten Kediri harus bersusah payah ngotot mau menyelesaikan proyek ini yang keuntungannya belum tentu dirasakan masyarakat kediri secara langsung, lebih baik pemerintah kota atau kabupaten Kediri melihat kembali proyek-proyek kecil yang dampaknya langsung ke rakyat.

-*-

Proyek-proyek kecil yang saat ini sangat mendesak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat Kediri. Misalnya apa yang dicontohkan oleh kabupaten Bantul dengan proyek memberantas rentenir atau proyek lain yang terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat Kediri, misalnya proyek pembangunan irigasi bagi petani, proyek penataan PK5, proyek pelayanan transportasi yang nyaman dst.

Terakhir, jika proyek-proyek besar tersebut di kerjakan, lalu banyak protes dari masyarakat, karena mereka merasa tidak dilibatkan atau tidak diuntungkan dengan proyek tersebut. Pertanyaan terakhir adalah: untuk siapa sebenarnya proyek-proyek besar di Kediri?

0 komentar: