Sabtu, 25 Januari 2014

Jalur Sepeda Tidak Sekedar Marka Dan Rambu

Beberapa bulan ini, warga Jombang sudah dikenalkan dengan jalur sepeda, yaitu jalur yang dikhususkan bagi pesepeda dan becak non motor. Ada dua jalur sepeda yang sementara ini dibuat, yang pertama jalur lambat Jalan Wahid Hasyim yang diubah menjadi jalur sepeda dan becak, dan jalur kiri jalan sekitar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Keplaksari, depan Taman Tirta Wisata Keplaksari.

Jalur sepeda penting dibuat di Jombang sebagai cara untuk menciptakan green transportation yang menjadi salah satu program Kota Hijau yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, disamping tujuh ‘green’ yang lain (green community, green waste, green water, green energy, green open space, green building dan green design). Namun yang terpenting adalah jalur sepeda dibuat sebagai upaya untuk melindungi dan menghormati hak-hak pesepeda yang saat ini mulai marak lagi di Jombang. Meskipun pesepeda bertambah marak, ternyata tidak menjadikan hak pesepeda sama dengan pengguna jalan yang lain. Pesepeda masih menjadi pengguna jalan kelas dua disamping pejalan kaki, yang mungkin menempati kelas yang lebih bawah lagi.

Jalur sepeda di sekitar RTH Keplaksari merupakan bagian dari proyek RTH Keplaksari yang dibiyai dari APBN, namun jalur sepeda yang memanfaatkan jalur lambat Jalan Wahid Hasyim, yang merupakan jalan protokol utama kota Jombang, tidak menjadi bagaian dari proyek tersebut. Jalur sepeda di jalur lambat merupakan usulan (advokasi) Forum Komunitas Hijau (FKH) Jombang kepada pemerintah Jombang, dalam hal ini Dinas Perhubungan Jombang.

Meskipun fasilitas marka jalur sepeda sudah dibuat dan rambu yang menandakan bahwa jalur tersebut adalah jalur sepeda sudah dipasang, terutama di jalur sepeda Wahid Hasyim, tetapi pada kenyataannya, jalur tersebut tidak bersih dari kendaraan bermesin, baik mobil maupun sepeda motor, serta masih menjadi tempat melakukan aktifias ekonomi lainnya. Rambu yang dipasang dan marka yang telah dioleskan ternyata tidak serta merta bisa mencegah pengguna jalan non-sepeda dan becak bermotor untuk melintas di jalur tersebut, bahkan malah menjadi area parkir bagi mobil pemilik toko atau konsumen toko dan warung di Jalan Wahid Hasyim sisi timur.

Merespon hal ini, para pesepda Jombang yang tergabung dalam Komunitas Jombang Bersepeda (Jombers) pernah melakukan aksi sporadis dan spontan, dengan menempeli stiker di kaca mobil yang di parkir di jalur tersebut. Stiker yang ditempelkan adalah berisi tentang pemberitahuan dan ajakan untuk tidak parkr di jalur sepeda. Meskipun aksi para pesepeda tersebut dilakukan penuh semangat, tetapi kurang berjalan efektif, karena, pertama, dilakukan secara sporadis dan kurang terorganisir sehingga tidak bisa berjalan terus menerus dan menjadi sebuah gerakan; kedua, tidak menyentuh pada pembuat kebijakan secara langsung. Kenapa hal ini kurang berjalan efektif, karena persoalan yang ada di jalur sepeda, bukan hanya masalah lingkungan dan teknis, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya.   

Bagaimana bisa melakukan aksi yang tidak sporadis, terorganisir dan menyentuh pada pembuat kebijakan. Pertama-tama kita mesti melakukan identifikasi dan pemetaan tentang siapa-siapa saja yang berkepentingan di jalur sepeda tersebut. Hal ini dilakukan karena jalur tersebut merupakan ruang yang menjadi pergulatan kepentingan berbagai pihak. Siapa saja itu? (1) para pesepeda, (2) tukang becak, (3) tukang becak motor, (4) pemilik toko dan rumah disisi jalur, (5) konsumen toko/warung, (6) penarik dana dan pengelola ATM di RSUD, (7) pengendaran sepeda motor, (8) pengendara mobil, (9) juru parkir, (10) penjual makanan (pecel, bakso, mie ayam dll), (11) RSUD, (11) Dinas Perhubungan, (13) Polisi Lalu Lintas, (14) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta (15) Dinas PU Cipta Karya.

Dari ke-lima belas pihak-pihak yang berkepentingan ini bisa kita kategorikan menjadi dua, yang pertama adalah dari masyarakat, dan yang kedua adalah pihak pembuat kebijakan. Selanjutnya bagaimana “mengkompromikan” berbagai kepentingan tersebut, sehingga jalur sepeda betul-betul berfungsi sesuai dengan tujuannya, yaitu memberikan ruang kepada pesepeda agar dihormati dan bisa memanafaatkan jalur yang menjadi hak-nya?

Perlu pendekatan yang terpadu dan terus menerus. Tidak sepotong-poting (parsial) dan dilakukan secara spontan dan sporadic. Pembuatan jalur sepeda merupakan bagian dari kebijakan publik, karena dibuat oleh pembuat kebijakan public untuk melindungi kepentingan public. Jika kita berbicara tentang kebijakan, maka ada tiga hal yang harus dilakukan agar kebijakan tersebut bisa berjalan dengan baik: (1) bagaimana isi kebijakannya, apakah dibuat dengan melibatkan berbagai pihak dan publik secara luas; (2) apakah aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan tersebut memahami dan mau bekerja untuk menegakkan kebijakan tersebut dan; (3) apakah masyarakat-nya mengetahui dan memiliki kesadaran untuk mematuhi kebijakan tersebut.

Sebelum jalur sepeda secara fisik dibuat, harus ada keputusan (kebijakan) yang dibuat, entah berupa Surat Keputusan (SK) atau Peraturan Daerah (Perda). Pembuatan SK atau Perda ini harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan, sehingga kebijakan yang dibuat bisa menampung semua kepentingan. Harus ada negosiasi dan kompromi dalam hal ini, tidak boleh menang-menangan. Prinsipnya, tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, menyiapkan aparat atau petugas yang akan menjalankan kebijakan tersebut. Bagaimana kebijakan bisa berjalan dengan baik, jika aparat yang akan melaksanakan tidak memahami isi kebijakan tersebut. Apalagi kemudian ada tumpang tindih antara satu instansi dengan instansi yang lain. Positioning masing-masing instansi harus jelas, instansi apa mengurusi apa. Penegakan kebijakan berada di pundak para aparat atau petugas, karena aparat atau petugaslah yang diberi wewenang untuk menjalankan tugas penegakan.

Terakhir, terus menerus melakukan kampanye kepada masyarakat tentang jalur sepeda tersebut. Mengorganisasikan masyarakat dengan melakukan penyadaran, bisa melalui sebuah kampanye, pertemuan dan event-event. Tujuan utamanya adalah membangun kesadaran bahwa, jalur sepeda adalah penting sebagai cara untuk menghormati hak pesepeda, tidak menjadikan pesepeda sebagai pengguna jalan kelas dua, dan lebih jauh dalam upaya menciptakan transportasi hijau (green transportation). Upaya melakukan pengorganisasian ini adalah sebagai upaya mambangun gerakan bersama, sehingga semua orang memiliki kesadaran yang sama, lalu berbuat secara bersama-sama untuk mencapai mimpi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan bersama. Untuk mengawal proses pengorganisasian ini dibutuhkan organisasi yang baik, tidak bisa dilakukan secara individual. Organisasi-lah yang akan mengawal gerakan bisa berjalan secara terus-menerus dan tidak sporadic.

Itulah upaya yang harus dilakukan jika membuat jalur sepeda. Tidak sekedar dicat, dibuatkan marka kemudian dipasang rambu-rambu. Butuh upaya yang lebih terencana, menyeluruh, dan melibatkan semua pihak yang berkepntingan. (Mus Abdilla)

0 komentar: