Beberapa bulan ini, warga Jombang sudah dikenalkan dengan
jalur sepeda, yaitu jalur yang dikhususkan bagi pesepeda dan becak non motor.
Ada dua jalur sepeda yang sementara ini dibuat, yang pertama jalur lambat Jalan
Wahid Hasyim yang diubah menjadi jalur sepeda dan becak, dan jalur kiri jalan
sekitar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Keplaksari, depan Taman Tirta Wisata
Keplaksari.
Jalur sepeda penting dibuat di Jombang sebagai cara untuk
menciptakan green transportation yang menjadi salah satu program Kota
Hijau yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, disamping tujuh ‘green’ yang lain
(green community, green waste, green water, green energy, green open space,
green building dan green design). Namun yang terpenting adalah jalur
sepeda dibuat sebagai upaya untuk melindungi dan menghormati hak-hak pesepeda
yang saat ini mulai marak lagi di Jombang. Meskipun pesepeda bertambah marak,
ternyata tidak menjadikan hak pesepeda sama dengan pengguna jalan yang lain.
Pesepeda masih menjadi pengguna jalan kelas dua disamping pejalan kaki, yang
mungkin menempati kelas yang lebih bawah lagi.
Jalur sepeda di sekitar RTH Keplaksari merupakan bagian dari
proyek RTH Keplaksari yang dibiyai dari APBN, namun jalur sepeda yang memanfaatkan
jalur lambat Jalan Wahid Hasyim, yang merupakan jalan protokol utama kota
Jombang, tidak menjadi bagaian dari proyek tersebut. Jalur sepeda di jalur
lambat merupakan usulan (advokasi) Forum Komunitas Hijau (FKH) Jombang kepada
pemerintah Jombang, dalam hal ini Dinas Perhubungan Jombang.
Meskipun fasilitas marka jalur sepeda sudah dibuat dan rambu
yang menandakan bahwa jalur tersebut adalah jalur sepeda sudah dipasang, terutama
di jalur sepeda Wahid Hasyim, tetapi pada kenyataannya, jalur tersebut tidak
bersih dari kendaraan bermesin, baik mobil maupun sepeda motor, serta masih
menjadi tempat melakukan aktifias ekonomi lainnya. Rambu yang dipasang dan
marka yang telah dioleskan ternyata tidak serta merta bisa mencegah pengguna
jalan non-sepeda dan becak bermotor untuk melintas di jalur tersebut, bahkan
malah menjadi area parkir bagi mobil pemilik toko atau konsumen toko dan warung
di Jalan Wahid Hasyim sisi timur.
Merespon hal ini, para pesepda Jombang yang tergabung dalam
Komunitas Jombang Bersepeda (Jombers) pernah melakukan aksi sporadis dan
spontan, dengan menempeli stiker di kaca mobil yang di parkir di jalur
tersebut. Stiker yang ditempelkan adalah berisi tentang pemberitahuan dan
ajakan untuk tidak parkr di jalur sepeda. Meskipun aksi para pesepeda tersebut dilakukan
penuh semangat, tetapi kurang berjalan efektif, karena, pertama, dilakukan
secara sporadis dan kurang terorganisir sehingga tidak bisa berjalan terus
menerus dan menjadi sebuah gerakan; kedua, tidak menyentuh pada pembuat
kebijakan secara langsung. Kenapa hal ini kurang berjalan efektif, karena
persoalan yang ada di jalur sepeda, bukan hanya masalah lingkungan dan teknis,
tetapi juga masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Bagaimana bisa melakukan aksi yang tidak sporadis,
terorganisir dan menyentuh pada pembuat kebijakan. Pertama-tama kita mesti
melakukan identifikasi dan pemetaan tentang siapa-siapa saja yang
berkepentingan di jalur sepeda tersebut. Hal ini dilakukan karena jalur
tersebut merupakan ruang yang menjadi pergulatan kepentingan berbagai pihak.
Siapa saja itu? (1) para pesepeda, (2) tukang becak, (3) tukang becak motor,
(4) pemilik toko dan rumah disisi jalur, (5) konsumen toko/warung, (6) penarik
dana dan pengelola ATM di RSUD, (7) pengendaran sepeda motor, (8) pengendara mobil,
(9) juru parkir, (10) penjual makanan (pecel, bakso, mie ayam dll), (11) RSUD,
(11) Dinas Perhubungan, (13) Polisi Lalu Lintas, (14) Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, serta (15) Dinas PU Cipta Karya.
Dari ke-lima belas pihak-pihak yang berkepentingan ini bisa
kita kategorikan menjadi dua, yang pertama adalah dari masyarakat, dan yang
kedua adalah pihak pembuat kebijakan. Selanjutnya bagaimana “mengkompromikan”
berbagai kepentingan tersebut, sehingga jalur sepeda betul-betul berfungsi
sesuai dengan tujuannya, yaitu memberikan ruang kepada pesepeda agar dihormati
dan bisa memanafaatkan jalur yang menjadi hak-nya?
Perlu pendekatan yang terpadu dan terus menerus. Tidak
sepotong-poting (parsial) dan dilakukan secara spontan dan sporadic. Pembuatan
jalur sepeda merupakan bagian dari kebijakan publik, karena dibuat oleh pembuat
kebijakan public untuk melindungi kepentingan public. Jika kita berbicara
tentang kebijakan, maka ada tiga hal yang harus dilakukan agar kebijakan
tersebut bisa berjalan dengan baik: (1) bagaimana isi kebijakannya, apakah
dibuat dengan melibatkan berbagai pihak dan publik secara luas; (2) apakah
aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan tersebut memahami dan mau bekerja
untuk menegakkan kebijakan tersebut dan; (3) apakah masyarakat-nya mengetahui
dan memiliki kesadaran untuk mematuhi kebijakan tersebut.
Sebelum jalur sepeda secara fisik dibuat, harus ada
keputusan (kebijakan) yang dibuat, entah berupa Surat Keputusan (SK) atau
Peraturan Daerah (Perda). Pembuatan SK atau Perda ini harus melibatkan semua
pihak yang berkepentingan, sehingga kebijakan yang dibuat bisa menampung semua
kepentingan. Harus ada negosiasi dan kompromi dalam hal ini, tidak boleh
menang-menangan. Prinsipnya, tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan
dengan baik.
Selanjutnya, menyiapkan aparat atau petugas yang akan
menjalankan kebijakan tersebut. Bagaimana kebijakan bisa berjalan dengan baik,
jika aparat yang akan melaksanakan tidak memahami isi kebijakan tersebut.
Apalagi kemudian ada tumpang tindih antara satu instansi dengan instansi yang
lain. Positioning masing-masing instansi harus jelas, instansi apa mengurusi
apa. Penegakan kebijakan berada di pundak para aparat atau petugas, karena
aparat atau petugaslah yang diberi wewenang untuk menjalankan tugas penegakan.
Terakhir, terus menerus melakukan kampanye kepada masyarakat
tentang jalur sepeda tersebut. Mengorganisasikan masyarakat dengan melakukan
penyadaran, bisa melalui sebuah kampanye, pertemuan dan event-event. Tujuan
utamanya adalah membangun kesadaran bahwa, jalur sepeda adalah penting sebagai
cara untuk menghormati hak pesepeda, tidak menjadikan pesepeda sebagai pengguna
jalan kelas dua, dan lebih jauh dalam upaya menciptakan transportasi hijau (green
transportation). Upaya melakukan pengorganisasian ini adalah sebagai upaya mambangun
gerakan bersama, sehingga semua orang memiliki kesadaran yang sama, lalu
berbuat secara bersama-sama untuk mencapai mimpi dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan menyelesaikan persoalan bersama. Untuk mengawal proses pengorganisasian
ini dibutuhkan organisasi yang baik, tidak bisa dilakukan secara individual.
Organisasi-lah yang akan mengawal gerakan bisa berjalan secara terus-menerus
dan tidak sporadic.
Itulah upaya yang harus dilakukan jika membuat jalur sepeda.
Tidak sekedar dicat, dibuatkan marka kemudian dipasang rambu-rambu. Butuh upaya
yang lebih terencana, menyeluruh, dan melibatkan semua pihak yang
berkepntingan. (Mus Abdilla)
0 komentar:
Posting Komentar